Jumat, 05 Agustus 2016

Sumber: https://btsfanfictionindonesia.wordpress.com/2014/06/20/bts-ff-freelance-she-loves-me-oneshoot/

[BTS FF Freelance] She Loves Me? – (Oneshoot)

jiminposter
“She Loves Me?”
Main Cast
PARK JIMIN (BTS) | CLARA LEE (OC)
AU | Friendship | Romance | School-life | Humor/Comedy | Teens
Oneshot
[Cast bukanlah milik saya, Cast adalah milik Tuhan dan orang tua mereka, cerita ini hanyalah sebuah karangan, jadi jangan percaya apapun tentang isinya^^]
“Apa dia juga memiliki perasaan yang sama seperti diriku saat ini yang tengah jatuh cinta terhadapnya?”
***
Jimin membuka matanya perlahan, kembali ia memandang setangkai bunga mawar yang sedari tadi ia pegang dengan tangan kanannya. Jari-jarinya refleks terus memutar tangkai mawar itu sehingga seakan-akan ia sedang memendangnya sangat serius. Jimin menghela napasnya, kali ini ia sudah pasrah dengan keadaannya. Lusa adalah hari kelulusannya di sekolah, sedangkan ia belum menyatakan perasaannya kepada seorang Gadis manis di kelasnya yang bernama Clara Lee –Gadis berdarah Inggris-Korea-
Sebenarnya, Jimin sudah lama menyukai Clara, sejak dirinya dan Clara ditugaskan sebagai petugas piket di kelasnya. Waktu itu, dirinya terlihat sangat canggung sekali kepada Gadis itu, namun tanpa sengaja dirinya hampir menabrak Clara yang juga sedang bekerja itu, jantungnyapun berdetak tak karuan. Namun, Clara hanya bisa tersenyum lalu menjulurkan tangannya kepadanya dan berkata, “Kau belum mengenalku sebelumnya, kan? Namaku Clara Lee. Apa kau Park Jimin?”
Sejak itu Jimin menyadari bahwa dirinya sedang jatuh cinta. Dia juga menyadari, pada saat dia bersama dengan Clara, hatinya serasa malayang dan tanpa bosan Jimin tak menyadari ia terus memandang Gadis bernama Clara itu.
Memang disitulah kekuatan cinta berada.

Jimin kembali menatap langit-langit, dirinya terus merasakan hembusan angin sejuk yang sejak tadi membuatnya terus nyaman berbaring di padang rumput dekat rumahnya itu. Ia meletakkan setangkai bunga yang tadi ia pegang di atas permukaan dadanya.
Sambil tersenyum ia berkata dalam hatinya,
“Apa dia juga memiliki perasaan yang sama seperti diriku saat ini yang tengah jatuh cinta terhadapnya?”
***
Keesokkan harinya..
Seakan-akan telepon itu hampir mirip dengan seekor burung-burung kecil yang sering beterbangan di langit, suara deringan itu selalu terdengar secara mendadak, membuat sang pemilik telepon selalu terkejut dari tempat dimana awalnya ia sedang melakukan kegiatannya masing-masing.
Jimin yang tadinya sedang membawa sebuah cangkir berisi kopi susu dari dapurnya itu langsung berjalan menuju meja tempat dimana teleponnya berada.
“Halo?”
“Jimin-ya.”
Eo? Nam songsaengnim. Ah, selamat pagi.” Ucap Jimin setelah ia menyadari bahwa suara yang tadi ia dengar di teleponnya adalah suara milik Nam songsaengnim, guru kelasnya di sekolah.
“Selamat pagi juga, Jimin. Sebelumnya, saya ingin mengucapkan maaf untukmu karena saya meneleponmu pagi sekali. Apa kau baru saja bangun dari tidurmu setelah mendengar telepon ini?”
“Ah, tidak juga. Aku tidak bisa tidur malam ini, jadi aku terbangun pada jam empat tadi, hahaha..” jawab Jimin sambil tertawa kecil.
“Oh, baiklah. Kamu masih ingat tentang pidatomu pada esok hari kan di sekolah?” Mendengar ucapan gurunya tadi, Jiminpun tercengang. Ia saja tidak ingat bahwa ialah yang mendapat kesempatan untuk membaca pidato kelulusan untuk kelasnya besok.
“Yah, aku cukup ingat, songsaengnim” balas Jimin berbohong. Dengan tangan kiri yang masih memegang teleponnya, tangan kanannya mencoba untuk mencari sebuah kertas yang mungkin tak sempat ia lihat di tas sekolahnya. Itu adalah kertas yang berisi seluruh ucapannya di pidato kelulusan besok.
“Terus berlatih, Jimin-ya. Saya dengar-dengar dari ruang guru, saat kau tengah membacakan pidato kelulusan, menteri pendidikan Seoul juga akan berdiri di sebelahmu. Jadi, jangan sampai salah,arraseo?” Jimin yang tadinya sudah menemukan kertas yang berwarna kuning muda di tasnya itu langsung membesarkan matanya.
Jjinja? Nam songsaengnim tidak salah dengar?”
“Tidak, saya serius dengan ucapan saya tadi. Menteri pendidikan akan datang di Aula sekolah kita besok. Banyak guru yang sudah menaruh harapan kepadamu, jadi berusahalah! Sudah ya, Jimin-ya. Saya hanya ingin menyampaikan itu kepadamu, karena jika saya tidak menyampaikannya, kau pasti tidak akan menghafalkannya dengan baik, bahkan lupa.” Jimin hanya bisa menggaruk-garukkan lehernya sambil tersenyum malu.
“Baiklah, songsaengnim.”
Seketika, sambungan telepon terputus. Jimin kembali meraih pegangan cangkir kopi susunya, lalu mencoba untuk membuka tali merah yang mengikat kertas kuning yang tadi ia temukan di dalam tasnya. Perlahan, matanya terus fokus ke arah serangkaian kalimat yang sudah dirancang oleh sebagian guru untuk pidato kelulusan esok, ditemani dengan secangkir kopi di pagi hari, kebanyakan orang sudah mengira bahwa ia pasti bisa berpidato dengan sangat baik saat hari kelulusan.
Jimin terkenal sebagai sosok yang sangat cerdas di kelasnya, ia juga dikenal dengan sikapnya yang tidak mudah menyerah dalam menyelesaikan suatu masalah yang sangat rumit. Hampir seluruh warga sekolah mengagumi dirinya, namun sayangnya Jimin tak tahu kenyataannya.
***
“Saya sebagai salah satu murid di-”
“Jangan pakai nada seperti itu!” bentak Yoongi membuat Jimin hampir saja kehilangan jantungnya karena ia merasa sangat terkejut mendengar bentakan tadi.
“Kubilang jangan pakai nada seperti itu, Jimin! Kau itu bagaimana sih, katamu kau seorang juara kelas, tapi mengapa nadamu seperti seorang insomia yang baru saja ingin terlelap?!” komentar Yoongi langsung, namun Jimin hanya menghembuskan napasnya lelah. Ia berpikir, sudah biasa Yoongi memakai nada seperti itu pada kalimat yang akan ia ucapkan, lelaki itu memang selalu tak bisa mengendalikan dirinya sendiri.
“Kau sungguh-sungguh? Bagaimana kau tau kalau kemarin malam aku mengalami insomia berat?” balas Jimin.
Aish.. kau ini percaya saja pada ucapanku. Hoseok-ah, bagaiman pendapatmu tentang latihannya tadi?” tanya Yoongi sambil menoleh ke arah Hoseok yang sedang asyik mengunyah permen karetnya serta menebar pesona kepada Gadis-gadis pengunjung kafe lainnya.
Ya! Aku berbicara kepadamu, Jung Hoseok!” kata Yoongi sekali lagi sambil menepuk pundak lelaki itu kasar. Akhirnya, tepukan Yoongi tadi berhasil membuat Hoseok tersentak dari kegiatannya sejenak, sehingga Gadis-gadis yang tengah memandanginya itu tertawa menertawai apa yang sedang terjadi tadi pada Hoseok.
Ya! Apa maksudmu mengejutkanku tadi?! Kau membuatku hampir pingsan saja!” tukas Hoseok kasar sambil memukul balik Yoongi.
“Salahmu sendiri kau tak mendengarkan kami yang sedang latihan.” Jawab Yoongi sambil mengalihkan pandangannya kembali ke arah Jimin.
“Jadi bagaimana menurutmu latihan pidatonya tadi?” ulang Yoongi kepada Hoseok. Hoseok yang tadinya sibuk mengunyah permen karet yang berada dalam mulutnya kini terdiam sambil menatap dengan mata penuh arti kepada Jimin.
“Kau terlalu kekanak-kanakan. Seharusnya jika ada seseorang maju sebagai harapan kelasnya, ia harus terlihat dewasa dan tegas. Kau itu bagaimana sih?” ucap Hoseok. Mendengar itu, Jimin kembali menghela napasnya dan berpikir, “Tanggapan Hoseok memang selalu tidak membantu bagi orang lain.”
“Sudahlah, aku mengantuk. Aku ingin pulang.” Ucap Jimin mendadak membuat keduanya menatapnya heran.
“Biasanya pada jam-jam ini kau belum mengantuk, Park Jimin.” Sahut Hoseok.
“Bahkan pada jam-jam ini juga biasanya kau mengatakan wajib untuk pergi ke gym.” Gurau Yoongi membuat Hoseok dan dia sendiri tertawa puas. Jimin hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya terpengarah melihat tingkah laku mereka yang semakin hari tidak ada kemajuan sedikitpun.
.
Pada saat di tengah perjalanannya, Jimin menghentikan langkahnya ketika ada sebuah tangan yang melayang di atas di pundaknya, ia perlahan menoleh ke belakang –mencoba untuk melihat orang yang menepuk pundaknya tadi-
“Bagaimana pidatomu besok?”
Seperti bunga Dandelion yang menerbangkan anak-anaknya begitu saja, Jimin serasa terangkat ke langit saat ini. Dirinya tak sengaja bertemu dengan Clara.
“Aku, aku, aku sedang berlatih tadi bersama Yoongi dan Hoseok. Tapi, mereka sama sekali tak membantuku, malah mereka hampir saja memecahkan konsentrasiku tadi.” Jawab Jimin membuat Clara tertawa renyah.
“Oh, baiklah. Apa aku yang harus menemanimu untuk menghafal semua kalimat pidatonya?” tawar Clara.
“Ah, tidak tidak. Aku tidak ingin merepotkanmu. Lagipula sekarang aku sudah sangat mengantuk, mungkin nanti pada senja hari aku akan mulai menghafalkannya.” Sahut Jimin cepat membuat Clara menganggukkan kepalanya.
“Baiklah, selamat berjuang ya. Aku akan dukung kamu besok dari belakang.” Ucap Clara sambil meninggalkan Jimin yang masih terpaku dalam tempat ia berdiri.
“Semoga saja besok ia juga menerima cintaku.”Pikir Jimin sambil mengangkat sebelah alisnya.
***
Hari kelulusan..
Dengan penuh percaya diri, seluruh murid kelas akhir memakai seragam wisuda di seluruh tubuhnya dan toga yang berada dalam puncak kepala mereka masing-masing. Hari ini memang hari yang penuh harapan bagi mereka, tentang jalan hidup mereka masing-masing sesudah kelulusan ini.
Jimin memandang toganya sejenak, sambil membawa kertas kuning itu, ia memakai toga itu hati-hati dan berjalan masuk ke dalam Aula, mengikuti murid-murid yang lain.
“Hei, hei, hei, Itu Jimin!” bisik sebagian siswa yang tengah memandangnya
“Apakah ia ingat dengan seluruh kalimat pidatonya nanti?” ucap seseorang lagi membuat Jimin sedikit gugup saat ini. Ia sedang mencari teman-temannya yang entah dimana mereka duduk dengan tenang nanti. Tapi, tak lama kemudian, kedua matanya melihat seorang murid yang tengah melambaikan tangannya sambil tersenyum mengembang ke arahnya. Sudah dipastikan semua itu adalah tingkah laku seorang Jung Hoseok.
Jimin segera berlari menghampiri tempat itu, memang sedikit jauh namun tak membuatnya lemas untuk menghampiri seluruh teman baiknya saat ini.
“Hei ya! Mungkin kau terlalu gendutmakanya larimu tadi sangat lambat!” oceh Hoseok sambil menyenggol lengan Jimin sedemikian, mendengar itu Jimin hanya bisa ikut berkicau dengan teman-temannya.
Pada akhirnya, acara kelulusan dimulai, lampu-lampu Aula mulai dimatikan, seolah-olah hanya panggung yang akan menjadi sorotan utama semua orang yang berada dalam ruangan.
“Sebentara lagi akan dimulai acara kelulusan murid-murid Seoul High School. Berikan tepuk tangan yang meriah!” ucap seseorang dari belakang panggung. Seluruh orang yang menghadiri acara kelulusan ini ikut bertepuk tangan mengikuti instruksi sang pemilik suara dari belakang panggung tadi.
“Wah, aku sangat gugup hari ini.” ucap Seokjin sambil terus berdecak kagum atas apa yang tengah ia lihat sekarang.
“Kami persilahkan untuk Kepala Menteri Pendidikan Seoul, Bapak Park Minhwan.” Kembali. Suara tepuk tangan tanpa henti terdengar di dalam ruangan itu, ketika kepala Menteri Pendidikan Seoul sedang menaiki panggung.
“Wah, ternyata si kakek itu yang membuat soal-soal bodoh dan susah kita kemarin untuk ujian? Hebat sekali dia.” Ujar Hoseok blak-blakan sehingga membuat Yoongi terpaku lalu menepuk pelan pipi lelaki itu.
“Kalau bicara lihat dulu siapa yang sedang kau bicarakan. Bisa-bisa kau dipenjarakan setelah acara kelulusan kita selesai.” Ucapnya membuat Jungkook yang berada di sebelahnya menutup mulutnya untuk menahan tawanya karena mendengar kalimat yang baru saja dikeluarkan Yoongi untuk Hoseok tadi.
“Baiklah, tadi aku hanya bercanda.”
“Sudah, diamlah!”
“Terima kasih bagi para hadirin sekalian karena sudah datang di acara kelulusan para murid hari ini, bagi para orang tua, para tamu, dan juga dengan hormat Bapak Park Minhwan yang sudah meluangkan waktunya untuk datang di acara kelulusan Seoul High School.” Ucap sang Kepala Sekolah sambil mempersilahkan Menteri Pendidikan Seoul untuk berbicara.
Di tengah-tengah pidato Menteri Pendidikan Seoul ini, Taehyung dan Seokjin terus menerus memandang Jimin yang sedang menenangkan dirinya ini. Dirinya mungkin terlalu gugup, akan dari itu ia sedikit lupa apa saja kalimat yang ia hafalkan kemarin.
“Hei, kau ingat kan inti dari setiap paragraf? Kau ambil saja kalimat yang menjadi sumber topiknya. Lagipula hanya ada dua paragraf, tak sama seperti punya kakakku tahun lalu.” ucap Taehyung sambil menatap Jimin serius.
“Iya, menurutku, kau hanya bisa mengambil kata ‘Terima kasih’ dan ‘Sekian.’” Sahut Seokjin.
“Kau bodoh, Jin.” Lanjut Hoseok cepat, membuat mata Seokjin langsung menajam menatap lelaki yang baru saja tadi menghinanya.
“Memang itu kebenarannya, karena di kalimatnya ada banyak kata Terima kasih dan sekian! Kau sendiri saja yang bodoh!” balas Seokjin membuat Hoseok hanya bisa menelan ludahnya.
“Kami persilahkan untuk salah satu siswa kami, Park Jimin dari kelas 12-E maju ke depan untuk mengucapkan pidato kelulusan.” Panggilan itu membuat Jimin seakan-akan dihantui dengan rasa takutnya, apalagi saat ini ada banyak orang yang nantinya akan menatapnya dan bahkan di sampingnya nanti ada juga Bapak Menteri Pendidikan yang sangat bijaksana.
Tidak, yang hanya ia perlukan saat ini hanyalah ketenangan. Jimin menghembuskan napasnya tenang lalu segera maju dilalui dengan banyaknya orang bertepuk tangan untuk menyambutnya.
Jimin berjalan pelan menuju ke atas balkon pidato, ia mulai menatap semua orang di kursi yang sedang menatapnya dengan serius, bahkan sepintas ia melihat seseorang yang kembali melambai-lambaikan tangannya sambil berloncat riang, ia pasti sudah menduga bahwa orang itu adalah Hoseok.
“Selamat pagi untuk para hadirin yang sudah datang dan berkumpul di acara kelulusan sekolah kami tercinta.” Salam Jimin, sekali lagi semua orang –termasuk Bapak Menteri- bertepuk tangan meriah untuknya.
“Terima kasih karena sudah meluangkan waktu Anda sekalian masing-masing untuk menghadiri acara yang paling berkesan sepanjang tahun ini. Hari ini, pada tanggal 25 Juni 2013, kita sudah melewati banyak kejadian yang sudah terlewati sebelumnya, pada masa pembelajaran, masa pelatihan, dan pada akhirnya pada masa kelulusan..” Jimin menghela napasnya sejenak, agar dirinya tak terlalu gugup untuk berbicara.
“Saya sebagai salah satu dari sekian banyak siswa di sekolah ini hanya bisa menyampaikan rasa terima kasih kami kepada Guru-guru yang sudah mengajarkan kami banyak hal yang sebelumnya belum kami ketahui, dan juga orang tua kami yang sudah bekerja keras untuk membiayai uang sekolah kami sampai saat ini. Kami ingin membanggakan kalian kelak, dengan seluruh harapan yang masih penuh dengan tanda tanya, namun pada esok hari kami semua tahu apa harapan yang sebelumnya kami belum ketahui. Kami juga berterima kasih kepada Tuhan yang telah membimbing kami dari kecil sampai saat ini, saat yang sangat menggembirakan sekaligus menyedihkan. Apa yang ada dalam pidato saya merupakan ucapan bagi seluruh siswa di sekolah ini. Sekian dari pidato saya, Terima kasih.”
Jimin membungkukkan tubuhnya sedikit lalu tersenyum saat semua orang bertepuk tangan sangat meriah –bahkan lebih meriah dari sebelumnya- kepadanya.
“Huwaaa.. dia memang terlalu pintar untuk berbicara!” tukas Hoseok sambil menutup wajahnya dengan sapu tangan yang ia bawa tadi.
“Dan tadi sudah aku katakan kan, di pidatonya terdapat banyak sekali kalimat ‘Terima kasih’ dan ‘Sekian’. Kau sih tak mau percaya padaku.” Sahut Seokjin membuat Hoseok kembali menoleh ke arahnya.
“Hah, kau ini! Kau tidak tahu ya bahwa saat ini aku masih sedih!” balas Hoseok kembali ke dalam posisinya semula.
“Kau boleh duduk di tempatmu, Jimin.” Ucap Kepala Sekolah pelan, namun dapat didengar oleh Jimin. Ia segera melangkahkan kakinya pergi dari atas panggung.
“Hei! Kau memang hebat, bro!” ucap Yoongi dari kursi yang cukup jauh dari jarak kursi Jimin.
“Terima kasih, aku tadi juga melewatkan satu kalimat, untung saja Kepala Sekolah tidak menyadarinya, ahahahaha..” canda Jimin sambil menggaruk-garukkan kepalanya yang tadinya tak gatal itu.
***
Saat acara kelulusan selesai..
Seluruh siswa bersorak gembira saat mereka sudah menerima penghargaan dari Aula tadi. Bahkan, Hoseok saja yang tadinya tidak percaya ada penghargaan berbentuk kepingan berubah menjadi percaya ketika Kepala Sekolah memasang sejenis medali di sekeliling lehernya.
Jimin hanya bisa tersenyum kecil sambil terus memandang seluruh barang yang saat ini ia pakai. Namun sesaat kemudian, ia jadi teringat ketika matanya tak sengaja menangkap Clara yang sedang berjalan keluar dari pagar Sekolah.
Segera ia berlari dengan cepat untuk menghampiri Clara, mungkin saja masih sempat. Ia tak ingin pernyataannya ditunda lagi, ia ingin sekarang dan secepatnya!
“Clara-sshi!” panggil Jimin saat ia berhasil menghampiri Clara yang sedang terdiam di pagar Sekolah.
“Oh, Jimin? Aku tadi sangat senang sekali ketika kau tampil di panggung dengan pidato indahmu.” Ucap Clara sambil tersenyum.
“Terima kasih.” Ucap Jimin sambil terus menunduk.
“Tapi, kau senang tidak jika kau menerima ini?” tanya Jimin sambil meraih setangkai bunga mawar yang masih ia simpan di dalam saku bajunya. Clara sempat bingung apa yang dilakukan oleh Jimin, namun perlahan ia mulai mengerti apa maksud Jimin.
“Jika kau menerima cintaku, kau terima saja bunga mawar ini. Tapi jika kau tak suka dan tak mau menerima cintaku, kau tinggalkan aku saja di sini.” Ucap Jimin jelas membuat Clara sempat terdiam dalam tempat ia berdiri sekarang.
Namun, beberapa saat kemudian tangan kanan Clara mulai mengambil setangkai bunga mawar itu dari tangan Jimin lalu mencium aroma bunga yang keluar dari kelopak mawar itu. Seketika kemudian, Jiminpun tersenyum.
“Kau menerimaku?” tanya Jimin. Clarapun tersenyum.
“Aku suka bunga mawar, jadi aku harus berterima kasih kepada pemiliknya dan harus lebih mencintainya lagi daripada bunga mawar ini.” balas Clara membuat hati Jimin serasa diangkat-angkat ke langit, merasakan betapa bahagianya ia saat ini.
Tanpa instruksi apapun sebelumnya, Jimin langsung berhambur ke arah Clara untuk mendekapnya erat. Sungguh ia ingin sekali untuk mendapatkan Gadis ini sejak lama, namun ia tak tahu kapan ia memiliki waktu yang bagus untuk mengungkapkannya.
Mungkin pertanyaan Jimin sudah terbalas semua sekarang. Dirinya sudah percaya diri untuk mengatakan bahwa dirinya adalah lelaki yang paling bahagia di dunia ini.



~ The END~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar