[FF #bfgcontest] A Pieces of You
Author: leehyunmi (trishaanindya98)
Main Cast: [OC] Joo Yeonhee, [Seventeen] Lee Seokmin
Genre: Romance, School life, AU | Length: Oneshot | Rating: Teen
Disclaimer:
I own nothing except the plot and OC.
A/N:
Halo~ seperti keterangan di judulnya, ff ini pernah author ikutkan ke #bfgcontest yang dibuat admin @bacotanfangirl di ig ya lumayan lah dpt juara 3 wkwkwk, enjoy yourself
WARNING: No Plagiarsm! No Siders! No Bash!
~~~~~
Jantung Yeonhee berdebar-debar tak keruan. Peluhnya terus keluar dari pelipisnya, padahal cuaca pagi ini tidaklah panas. Gadis itu sudah menguncir rambut panjangnya setinggi mungkin, namun tetap tidak mampu meminimalisir produksi keringatnya. Kedua kakinya terasa berat untuk terus menelusuri koridor tersebut. Tapi, berhenti melangkah dan pulang ke rumah bukan pilihan yang tepat sekarang. Orang tuanya pasti akan memarahinya jika ia melakukan hal itu. Yeonhee sangat gugup karena sebentar lagi akan memasuki kelas barunya.
“Joo Yeonhee,”
Yeonhee menengadahkan kepala, ia memandang Pak Kim—guru yang mendampinginya hari ini sekaligus calon wali kelas barunya— dengan gugup. “I-iya,.. Pak?..” ujar Yeonhee terbata-bata.
“Jangan gugup, santai saja!” Pak Kim menepuk punggung Yeonhee ringan, namun cukup kuat untuk membuat punggung gadis itu menjadi tegap. “SMA ini terkenal dengan SMA yang memiliki angka bullying terendah di Seoul, jadi kau tak usah khawatir!” tukas Pak Kim.
Yeonhee mengangguk paham, dalam hati ia merutuki diri sendiri. Suasana hatinya terlalu mudah ditebak. Tetapi harus diakui, Yeonhee memang mengkhawatirkan masalah itu saat pindah ke sekolah barunya, mengingat pikirannya masih terbayang-bayang dengan kasus bullyingyang ada di drama ‘Who Are You: School 2015’. Agak berlebihan memang.
Pak Kim membuka pintu di depannya, lalu melenggang masuk. Sedangkan Yeonhee, ia malah diam di depan pintu. Matanya masih menatap pintu tersebut dengan nanar. Pintu itu tak lain adalah pintu kelas 2 – 6, kelas yang akan ia tempati.
“Dengar semua!” suara Pak Kim yang keras menggema ke seluruh ruangan kelas 2 – 6, membuat murid-murid kelas itu berhenti berkasak-kusuk. Setelah suasana kelas lebih tenang, Pak Kim melanjutkan kata-katanya lagi. “Hari ini kita kedatangan murid baru, dia pindahan dari Tongyeong. Jadi kalian harus banyak membantunya beradaptasi!”
Pak Kim kemudian menoleh ke arah Yeonhee, pria itu tersenyum tipis. “Murid baru, masuklah dan perkenalkan dirimu!” seru beliau seraya mempersilahkan Yeonhee masuk.
Dengan ragu-ragu, Yeonhee mulai melangkahkan kakinya. Ia memasuki kelas 2 – 6 dengan jantung yang masih berdebar-debar. Begitu berdiri di samping Pak Kim, Yeonhee memutar badannya untuk menghadap ke murid-murid kelas 2 – 6. Beberapa pasang mata tertuju pada gadis itu, membuatnya semakin gugup.
“Halo..” Yeonhee membungkukkan badannya dengan kaku. “Namaku Joo Yeonhee,.. murid pindahan dari Tongyeong.. mohon bantuannya..” ucap Yeonhee gugup.
“Hah? Tongyeong!? Wah, keren!”
“Astaga! Asalmu sama dengan Kang Soyoung di ‘Who Are You: School 2015’! Jangan-jangan watak kalian sama juga, hahahaha!”
“Namamu lucu juga!”
“Imut sekali, apa kau sudah punya pacar?”
Reaksi murid-murid kelas 2 – 6 mengejutkan Yeonhee karena berbeda dari perkiraannya. Mereka menyambut Yeonhee dengan hangat dan bersahabat. Kegugupan gadis itu jadi menghilang perlahan-lahan, dan ia mulai berani membalas pandangan calon-calon teman kelasnya tersebut. Yeonhee tersenyum sumringah.
“Terima kasih.” ucap Yeonhee sekali lagi. Ia berasumsi kelas ini tidak terlalu buruk.
Murid-murid kelas 2 – 6 kembali ramai berkasak-kusuk. Mereka semua terpukau melihat perubahan sikap Yeonhee dari yang awalnya gugup, kini menjadi ceria. Tingkah Yeonhee dianggap lucu oleh mereka. Tak heran kalau mereka langsung mengagumi gadis itu, terutama kaum laki-lakinya.
“Yak, sudah cukup pengenalan dirinya!” sahut Pak Kim memecah keributan murid-murid yang lain. “Yeonhee, tempat dudukmu ada di bangku tengah belakang sana.”
Pak Kim menunjuk ke arah bangku kosong yang terletak di deretan bangku tengah paling belakang. Yeonhee mengucapkan terima kasih kepada Pak Kim, kemudian berjalan ke bangkunya. Begitu Yeonhee menaruh tas dan duduk, Pak Kim mulai memberikan materi pelajaran. Suasana kelas langsung berubah menjadi kondusif, dan Yeonhee buru-buru mengeluarkan buku pelajaran dan menyimak pelajaran yang diterangkan.
Tapi, keinginannya terusik karena merasa ada yang menatapnya. Ia lantas menoleh ke samping, lalu bertemu mata dengan seorang laki-laki berambut coklat kehitaman. Laki-laki itu tengah menatap Yeonhee tak berkedip, wajahnya diselimuti kebingungan, dan ia tampak ingin mengatakan sesuatu pada Yeonhee.
“Kau.. kenapa?” tanya Yeonhee sedikit takut.
Mata laki-laki itu membulat. Ia menggaruk kepala bagian belakangnya dengan kikuk. “Maaf, sikapku tidak sopan.” kata laki-laki itu.
Kemudian ia menyodorkan tangan kanannya. “Namaku Lee Seokmin. Mulai sekarang, aku akan jadi teman sebangkumu.”
Yeonhee kaget melihat aksi laki-laki yang bernama Lee Seokmin itu. Namun, tangan Yeonhee secara spontan menyambut tangannya tanpa ragu. “Mohon bantuannya, Seokmin.” kata Yeonhee sopan.
Laki-laki itu langsung tersenyum sumringah. Deretan giginya yang rapi diperlihatkan, hidungnya yang runcing mengembang, dan kedua matanya yang sipit menjadi segaris. “Jadi, kenapa kau bisa pindah dari Teongyeong ke Seoul, Yeonhee?” tanya Seokmin kemudian.
“Ehm,.. karena ayahku dipindah-tugaskan ke Seoul oleh dinas, keluargaku jadi harus pindah rumah dan menetap di sini.. Makanya, aku terpaksa pindah sekolah..”
“Hoh, aku pernah mengalami hal itu! Menyebalkan, ya? Harus cari teman baru lagi, puh!” gerutu Seokmin sembari memanyunkan bibir ranumnya.
Melihat ekspressi Seokmin yang lucu itu, Yeonhee tak bisa menyembunyikan tawanya. Dalam waktu singkat, ia tidak merasa canggung lagi terhadap laki-laki itu. Mereka berdua keasyikan berceloteh, sampai-sampai tidak menghiraukan Pak Kim yang sedang mengajar di depan kelas. Yeonhee lega karena hari pertamanya di sekolah baru berjalan dengan lancar sejauh ini.
~~~~~
“Yeonhee!”
Tepat 10 menit saat jam istirahat berlangsung, Yeonhee mendengar namanya dipanggil ketika ia baru saja keluar dari kelas. Yeonhee lantas menoleh ke asal suara itu dan mendapati Seokmin sedang berjalan menghampirinya. Ia tersenyum ke arah Yeonhee.
“Oh! Halo, Seokmin!” sapa Yeonhee dengan suara lembutnya.
“Kau mau kemana?” tanya Seokmin ramah.
“Euhm, aku mau ke perpustakaan,” jawab Yeonhee, namun sedetik kemudian wajahnya menjadi murung. “Tapi.. aku lupa dimana perpustakaan sekolah, padahal baru tadi pagi Pak Kim menunjukkan jalannya..”
Mendengar hal itu, Seokmin langsung memamerkan deretan giginya lagi. Ia menyengir lebar. “Biar kutunjukkan jalannya! Ayo, ikut aku!” sahut Seokmin semangat.
Seokmin segera memegang tangan Yeonhee dan menuntunnya ke perpustakaan. Yeonhee terkejut dengan sikap teman sebangkunya itu, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa karena badannya secara otomatis mengikuti arah yang dituju Seokmin. Untung saja koridor kelas sedang sepi, hanya ada mereka berdua. Kalau ramai, pasti akan ada rumor yang menerpa mereka.
“Nah, kita sudah sampai!” seru Seokmin antusias, begitu mereka berdua sudah sampai di depan pintu perpustakaan. Ternyata, letak perpustakaan sekolah tidak terlalu jauh dari kelas 2 – 6.
Yeonhee tampak senang sekali ketika matanya melihat tulisan ‘Perpustakaan’ terpampang jelas di atas pintu tersebut. Tanpa berpikir panjang lagi, gadis itu langsung menarik tangan Seokmin dan memasuki perpustakaan. Semangat Yeonhee semakin menggebu-gebu saat aroma buku-buku khas perpustakaan tercium di hidungnya. Langsung saja, ia menyibukkan diri dengan memilih-milih buku dari rak perpustakaan. Beragam jenis buku Yeonhee ambil, mulai dari novel, sampai dengan buku pelajaran.
“Anu, Yeonhee..”
Yeonhee mengalihkan pandangannya dari rak buku ke Seokmin. Laki-laki itu berdiri di samping Yeonhee sambil menggaruk kepala bagian belakangnya dengan kikuk. Daritadi Yeonhee terlalu sibuk memilih buku, sampai-sampai melupakan keberadaan Seokmin di sampingnya. “Ya? Ada apa, Seokmin?” tanya Yeonhee polos.
Seokmin tampak berseri-seri begitu mendengar pertanyaan Yeonhee barusan. Matanya lalu melirik ke tangan kiri Yeonhee. “Sebaiknya kau lepaskan tanganku dulu, akan sangat susah jika membawa banyak buku dengan satu tangan begitu.” kata Seokmin setengah berbisik.
Yeonhee membelalakkan matanya. Ia segera melihat keadaan tangan kirinya, dan ternyata tangan itu masih menggenggam tangan Seokmin dengan erat. Buru-buru ia melepaskan tangan Seokmin dan menjauhkan sedikit badannya dari laki-laki itu. Wajah Yeonhee berwarna merah seketika. “Astaga!.. Maafkan aku, Seokmin!..” ujar Yeonhee malu berat.
Seokmin hanya menyengir lebar sambil tetap menggaruk kepala bagian belakangnya. “Tak usah dipikirkan,” sahut Seokmin santai. “Sini, biar kubawakan bukumu!”
Tanpa basa-basi lagi, Seokmin langsung membawa semua buku yang dipegang Yeonhee dengan satu tangannya, sementara satu tangannya lagi dengan polosnya melingkar di bahu gadis itu. Wajah Yeonhee bertambah merah karenanya, dan kedua mata gadis itu tambah membulat.
“Akh.. Seokmin—”
“Ikuti aku, tempat bacanya ada di sana!” sahut Seokmin semangat, dagunya menunjuk ke arah barat perpustakaan.
Seokmin menuntun Yeonhee sampai di meja tempat membaca, dengan satu tangannya bertengger di bahu Yeonhee. Sampai di sana, Seokmin menarik satu kursi yang kosong dan mempersilahkan Yeonhee untuk duduk.
“Silahkan.” kata Seokmin.
“Te-terima kasih banyak..” ucap Yeonhee dengan gugup, ia lantas duduk di kursi yang ditarik Seokmin.
“Sama-sama, Yeonhee.”
Yeonhee semakin gugup ketika Seokmin tiba-tiba duduk di kursi sebelahnya. Ia masih menunjukkan deretan giginya yang rapi kepada Yeonhee, dan wajahnya perlahan-lahan mendekat.
“Kalau kau butuh bantuan, tidak usah sungkan minta tolong padaku.” bisik Seokmin, sukses membuat jantung Yeonhee hampir melompat dari tempatnya.
Yeonhee hanya bisa mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun, saking gugupnya. Ia mencoba mengabaikan rasa gugupnya terhadap Seokmin dengan mulai membaca buku yang ia ambil. Akan tetapi, kendala lain muncul.
“Kelihatannya kau sangat suka perpustakaan ya, Yeonhee?”
“Ah.. eh.. iya..”
“Kenapa kau suka tempat ini?”
“Perpustakaan tempat yang tenang… dan ada banyak buku di sini..”
“Oh! Berarti kau suka baca buku, ya?”
“Eh.. iya..”
“Itu hobimu?”
“Begitulah…”
“Wah, kau hebat! Kalau aku sih, cuma bisa baca buku selama 3 menit, hehe.”
Seokmin tetap mengajaknya bicara, dan secara spontan mulutnya kerap membalas semua pertanyaan yang dilontarkan Seokmin. Yeonhee tampak frustasi karena rasa gugupnya tak kunjung hilang, malah semakin bertambah. Ia tidak bisa konsentrasi membaca buku yang dipegangnya.
“Oh’ya! Yeonhee, berikan ponselmu!”
Tiba-tiba, Seokmin mengeluarkan kalimat itu dari mulutnya. Yeonhee kembali terkejut, tapi lagi-lagi tangannya langsung spontan bergerak ke saku rok dan memberikan ponselnya kepada laki-laki itu. Pikirannya seolah sudah tersihir untuk menanggapi semua perkataan Seokmin sejak mereka berkenalan tadi.
“Hampir saja aku melupakan ini!” sahut Seokmin sembari sibuk mengutak-atik ponsel layar sentuh Yeonhee dengan cekatan. Entah apa yang ia kerjakan pada benda tersebut.
Seokmin baru mengembalikan ponsel Yeonhee setelah beberapa menit mengutak-atiknya. Alis gadis itu tertaut. “A-apa yang kau lakukan?..” tanya Yeonhee bingung.
“Aku sudah memasukkan nomor, id line dansnapchat-ku, akun instagram-mu sudah mem-follow akunku, dan kau sudah add pathku!” jelas Seokmin sembari menyengir.
Yeonhee menatap ponselnya dengan tatapan tidak percaya. Ia kembali menatap Seokmin, lalu ponselnya, lalu Seokmin lagi, begitu seterusnya selama beberapa saat. “Ta-tapi.. buat apa?..” tanya Yeonhee pada akhirnya.
Sikap Yeonhee tersebut mengundang tawa geli Seokmin. “Reaksimu lucu sekali,” celetuk Seokmin di tengah-tengah tawanya. “Tentu saja supaya aku bisa menghubungimu kapan saja dan dimana saja! Karena kita duduk sebangku, kita harus jadi teman baik!”
Setelah berkata demikian, Seokmin kembali melingkarkan tangannya di bahu Yeonhee. “Karena kita berteman baik, wajar kalau aku menghubungimu setiap saat, kan?” ujarnya.
Laki-laki itu memamerkan cengirannya lagi di depan Yeonhee. Mulut gadis itu membisu, dan kedua matanya masih membulat. Jantung Yeonhee berdebar-debar, berikut dengan seluruh permukaan wajahnya terasa panas.
~~~~~
Waktu berjalan dengan cepat, tak terasa sekarang sudah memasuki bulan ke-2 semenjak Yeonhee pindah ke sekolah barunya. Ia tampaknya telah berhasil beradaptasi. Yeonhee sudah akrab dengan semua teman kelasnya. Pelajaran di sekolah ia ikuti dengan baik, sehingga nilai ulangan hariannya sangat memuaskan. Yeonhee juga sudah tergabung dalam klub menulis, dan ia mendapat teman baru lagi dalam klub itu.
Akan tetapi, ada satu masalah yang kini mengganggu pikiran gadis itu, yaitu Lee Seokmin. Memang akhir-akhir ini hubungan mereka semakin dekat, malah terlalu dekat untuk status ‘teman baik’. Seokmin selalu menemaninya di perpustakaan saat jam istirahat. Ia sering menelpon Yeonhee dan mengajaknya video calllewat line setiap malam. Mereka juga kerap ber-snapchat ria. Semua itu Seokmin lakukan setiap hari. Ya, tujuh hari dalam seminggu penuh. Bahkan, setiap Yeonhee membuat moment baru dipath atau upload foto di instagram, laki-laki itu selalu jadi orang pertama yang menyukai momentdan fotonya.
Perlakuan Seokmin yang demikian membuat hati Yeonhee tergerak. Jantungnya jadi sering berdegup kencang bila berada di dekat Seokmin. Yeonhee juga selalu gembira bila ponselnya terdapat notifikasi dari Seokmin. Jadi kesimpulannya, Seokmin adalah masalah yang selalu dipikirkan Yeonhee, karena ia menyukai laki-laki itu.
“The ‘Ultimum Viaticum’, or populary called ‘Last Journey’ is beautiful, but deadly flower. It commonly found in South Africa.” tutur Yeonhee ketika ia membantu Seokmin mengerjakan tugas Bahasa Inggris di perpustakaan sekolah.
“Arti dari kalimat itu adalah, bunga ‘Ultimum Viaticum’ atau yang dikenal dengan nama ‘Perjalanan Terakhir’ sangat cantik, namun mematikan. Bunga ini kerap ditemukan di Afrika Selatan. Tulis itu di bukumu, Seokmin.”
Seokmin tidak menanggapi penjelasan Yeonhee barusan. “Seokmin? Kau tidak—”
Perkataan Yeonhee terputus begitu melihat sosok Seokmin tertidur pulas di sebelahnya. Wajahnya menghadap ke Yeonhee, dan buku catatannya dijadikan sebagai bantal. Sesekali laki-laki itu juga mengeluarkan dengkuran pelan.
Bibir Yeonhee terangkat sedikit, kemudian ia tertawa kecil. Ditutupnya buku teks Bahasa Inggris yang daritadi ia bawa, lalu ia menyibukkan diri untuk mengamati Seokmin yang sedang tidur. Yeonhee memperhatikan wajah laki-laki itu dengan teliti. Mulai dari bibirnya yang indah, kemudian hidungnya yang runcing, lalu mata sipitnya yang dihiasi bulu mata lentik, dan berakhir pada rambut coklat kehitamannya yang lurus. Yeonhee senyum-senyum sendiri, merasa bodoh karena tidak menyadari ketampanan Seokmin saat pertama kali melihat laki-laki itu.
Tanpa sadar, satu tangan Yeonhee bergerak menyentuh rambut Seokmin. Rambutnya sangat halus, menggelitik jari-jari Yeonhee dengan lembut. Ia jadi kecanduan mengelus rambut Seokmin.
“Ehngg..”
Erangan itu membuat Yeonhee refleks menarik tangannya. Tubuh Seokmin mulai bergerak, berikut dengan matanya yang perlahan-lahan terbuka. Ia mengirjap beberapa kali, kemudian menegakkan tubuhnya. Seokmin merentangkan kedua tangannya sembari menguap, lalu menoleh ke arah Yeonhee.
“Oh.. maafkan aku, Yeonhee.. Aku malah ketiduran..” racau Seokmin seraya mengucek-ucek matanya. “Aku melewatkan apa tadi?”
Yeonhee mematung. Suaranya tercekat karena Seokmin menatapnya sekarang. “Eh.. I-itu…”
Seokmin menaikkan alisnya, bingung melihat Yeonhee tidak bergerak dan suaranya tergetar. Laki-laki itu mendekatkan dirinya, lalu menyentuh dahi Yeonhee dengan punggung tangan kanannya. “Kau sakit, Yeonhee? Wajahmu merah sekali.” ujar Seokmin khawatir.
Wajah Yeonhee benar-benar merah. Seluruh tubuhnya menjadi lemas. Ia tak sanggup lagi memandang Seokmin. Buru-buru ia bangkit dari kursinya dan menundukkan kepala.
“Maaf.. aku perlu ke toilet..”
Yeonhee bergegas keluar dari perpustakaan. Ia berlari kencang menuju toilet terdekat, lalu mengunci dirinya di dalam sana. Jantung Yeonhee berdegup kencang, seluruh wajahnya berwarna merah padam, dan kakinya tidak berhenti gemetaran. Hampir saja Seokmin memergokinya sedang mengelus rambut laki-laki itu.
“Dasar kau bodoh, Joo Yeonhee!” rutuk Yeonhee memaki dirinya sendiri. “Kalau tadi ketahuan, bagaimana!? Dia pasti langsung tahu kalau kau menyukainya!”
~~~~~
Yeonhee berjalan terhuyung-huyung saat menelusuri koridor sekolah. Hari ini ia berangkat pagi-pagi sekali, hal aneh yang pernah ia lakukan selama dua bulan bersekolah di Seoul. Kantung matanya sangat tebal, dikarenakan semalam ia terus memikirkan insiden di perpustakaan kemarin. Yeonhee terlalu keras memikirkannya sampai tidak bisa tidur.
“Pokoknya, hari ini aku harus jaga sikap! Jangan sampai kejadian kemarin terulang lagi!” gumamnya seraya menundukkan kepala. Gadis itu masih belum siap perasaannya diketahui oleh Seokmin.
Ketika tinggal beberapa langkah lagi ia sampai di kelas 2 – 6, notifikasi line Yeonhee berbunyi. Yeonhee terpaksa berhenti sejenak dan melihat ponselnya. Dengan cepat ia buka aplikasi line dan melihat siapa yang baru saja mengiriminya chat. “Apa dari ibu? Tapi, Seingatku tidak ada barang yang kutinggal di rumah.” ujar Yeonhee menerka-nerka.
[Seokmin: Selamat pagi, Yeonhee! Kalau sudah sampai di sekolah, temui aku di ruang musik, ya! ^^]
Yeonhee terkejutnya bukan main. Orang yang mengirimkan chat padanya ternyata Seokmin! Seketika jantungnya berdebar-debar, dan dengan gugup, ia mengetik balasan untuk Seokmin.
[Yeonhee: Baiklah, aku ke sana sekarang..]
Setelah mengirimkan balasan, Yeonhee langsung bergegas ke ruang musik. Letak ruangan tersebut sangat jauh dari kelas 2 – 6, tetapi gadis itu ingin cepat sampai di sana. Yeonhee lantas melakukan lari sprint andalannya, sehingga dalam waktu 10 menit, ia sudah sampai di depan ruang musik.
Napas Yeonhee tak beraturan, dan keringatnya mulai menghiasi keningnya. Setelah melakukan ‘ritual’ pengeringan badan dari keringat, barulah Yeonhee siap untuk membuka pintu. Ketika dirinya bersiap membuka pintu, gerakannya terhenti begitu dentingan piano mengalun di telinganya.
Alunan nada yang dimainkan sangat lembut, terasa tidak asing di telinga Yeonhee. Sejenis lagu balada, namun terdengar seperti lagu pop. Gadis itu langsung menyukai lagu itu, nadanya begitu ringan dan menempel di telinga, seolah ingin mengajak pendengarnya merasakan jatuh cinta yang sesungguhnya. Mata Yeonhee perlahan menutup seraya ia semakin menikmati lagu yang dimainkan.
Namun, ia kembali membuka matanya sepersekian detik berikutnya. Jantungnya berpacu cepat. Yeonhee merasa aneh karena tiba-tiba telinganya bisa menilai lagu yang dimainkan piano tersebut dengan sangat spesifik. Padahal seingat gadis itu, ia tidak pernah kursus ataupun belajar banyak tentang piano.
Sambil menenangkan hatinya, Yeonhee membuka pintu ruang musik dengan pelan. Dilihatnya Seokmin tengah asyik mendalami permainan pianonya, sampai-sampai kedua matanya terpejam. Tapi langkah kaki Yeonhee dengan mudah memecah konsentrasinya, membuat laki-laki itu segera membuka mata dan menyadari kedatangan Yeonhee di tempat itu.
“Oh, kau sudah datang? Cepatnya!” sahut Seokmin.
Ia menghentikan permainan pianonya, lalu menghampiri Yeonhee sambil menyengir ke arah gadis itu. Seketika Yeonhee lupa akan masalah keanehan telinganya karena melihat wajah Seokmin. Ekspressi Seokmin seakan meluluhkan semua hal ganjil yang berkecamuk di kepala Yeonhee.
“Kau ternyata jago bermain piano..” puji Yeonhee.
“Oh, kau mendengarnya? Hahaha, entah kenapa aku rindu memainkan lagu—”
“After School – When I Fall.”
Yeonhee mengernyit. Mulutnya tadi refleks mengatakan judul lagu itu. Seingatnya, ia belum pernah mendengar lagu After School – When I Fall. Tapi, kenapa bibirnya refleks mengucapkan judul lagu itu? Dan kenapa ia yakin kalau lagu yang dimainkan Seokmin adalah lagu itu?
Seokmin tak kalah terkejutnya. Ia memandang Yeonhee tak berkedip, dan ekspressinya berubah menjadi bingung. Itu ekspressi yang sama persis ketika mereka pertama kali bertemu di kelas.
“Iya.. kau benar, itu judul lagunya, hehehe..” ujar Seokmin.
Yeonhee mengulas senyum, tapi dalam hati ia bertanya-tanya tentang refleks mulutnya yang agak aneh hari ini. “Oh’ya, kenapa kau mengajakku bertemu di sini?” tanya Yeonhee berusaha mengganti topik pembicaraan.
Seokmin memandang Yeonhee sebentar, lalu ia sibuk menggaruk kepala bagian belakangnya dengan kikuk. Ia tampak salah tingkah. “Anu.. Yeonhee, Sabtu besok kau ada acara?” ujar Seokmin pada akhirnya.
Yeonhee berpikir sejenak. “Tidak ada, kenapa?”
Seokmin mengeluarkan cengirannya lagi begitu mendengar jawaban dari Yeonhee itu. “Kalau begitu, kau tidak keberatan kuajak makan malam besok?”
Yeonhee melongo. Otaknya memproses kata-kata itu cukup lama, dan ia tampak tidak percaya menerima tawaran tersebut dari Lee Seokmin. “Ma-makan malam!?..”
“Yah, bukan ke tempat mahal, sih. Aku ingin mengajakmu ke café tempatku kerja sambilan, makanan di sana lumayan enak.” terang Seokmin jujur.
Yeonhee nyaris menjerit kegirangan, kalau saja ia tidak berhasil menahan diri sekuat tenaga. Gadis itu kemudian mengangguk pelan, bibirnya tak mampu mengucapkan kata-kata lagi dan wajahnya sudah terlalu merah sekarang. Seokmin tersenyum sumringah begitu melihat reaksi—sekaligus jawaban— Yeonhee.
“Oke! Besok akan kujemput jam 7 malam!” sahut Seokmin semangat.
~~~~~
Tibalah hari yang sudah ditunggu-tunggu oleh Yeonhee, yaitu hari Sabtu. Tepat pukul 7 malamnya, Seokmin hadir di depan pintu rumah Yeonhee dengan mengenakan setelan pakaian musim gugur yang sederhana—celana panjang hitam, sepatu putih, kemeja putih, serta mantel coklat muda—, namun berhasil membuat Yeonhee susah bernapas karena Seokmin terlihat sangat tampan memakainya. Gadis itu juga hampir memekik kaget karena secara kebetulan ia juga mengenakan pakaian berwarna sama dengan pakaian Seokmin—boot hitam, terusan wol putih dengan longcoat coklat muda—. Mereka tampak seperti sepasang kekasih yang melakukan clothes matching.
“Wah! Baju kita sama warnanya!” sahut Seokmin sambil tertawa.
Yeonhee hanya bisa menundukkan kepalanya dalam-dalam. Saat ini wajahnya sudah semerah tomat karena malu. Tentu ia tidak ingin menunjukkan wajah merahnya di depan Seokmin.
“Yeonhee, apa temanmu sudah datang, Nak?”
Tanpa Yeonhee prediksi, tiba-tiba ibu Yeonhee muncul dari belakang badannya. Gadis itu sangat terkejut sampai-sampai melompat dari tempatnya berdiri tadi. “Aduh, ibu! Kan sudah kubilang, jangan muncul seperti hantu begitu!” protes Yeonhee malu.
Yeonhee menggembungkan pipinya sebagai bentuk aksi protesnya kepada sang ibu, namun raut wajahnya berubah ketika melihat ibunya membelalakkan mata. Beliau tengah beradu pandang dengan Seokmin, keduanya sama-sama terlihat terkejut. Mereka seperti ingin mengatakan sesuatu yang penting, tetapi enggan untuk mengungkapkannya.
“Halo, bibi. Nama saya Lee Seokmin.”
Seokmin orang pertama yang mengeluarkan suara. Laki-laki itu membungkuk sopan seraya memperkenalkan diri kepada ibu Yeonhee. “Hari ini saya ingin mengajak putri anda untuk makan malam di café tempat saya bekerja, mohon atas izinnya.” tutur Seokmin sangat sopan.
Ibu Yeonhee awalnya terkejut, namun seketika ia tergelak. “Ya, ampun! Seokmin, kau tidak perlu sesopan itu padaku! Hahaha!” sahut ibu Yeonhee.
Alis Yeonhee tertaut karena bingung. “Lho? Ibu mengenal Seokmin?” tanyanya.
Mereka menoleh ke arah Yeonhee secara bersamaan, lalu saling berpandangan. “Kami.. kami pernah bertemu di pasar, lalu berkenalan.” kata Seokmin cepat.
Ia lalu menarik tangan Yeonhee dan berpamitan kepada ibunya secara tergesa-gesa. Laki-laki itu mengajak Yeonhee memasuki taksi yang sudah terparkir di depan rumahnya. Entah mengapa, Seokmin kelihatannya sangat gusar setelah bertemu dengan ibu Yeonhee.
“Maaf ya, kita ke sana dengan naik taksi. Aku belum punya SIM untuk membawa mobil, hehe.” ujar Seokmin.
“Tak masalah.” kilah Yeonhee secara halus.
Seokmin memberitahu alamat tujuan mereka ke supir taksi itu, lalu barulah taksi yang mereka tumpangi melesat meninggalkan rumah Yeonhee. Seiring berjalannya waktu, mereka berdua tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tak ada satupun yang berbicara.
Seokmin masih tampak gusar, meskipun ia berusaha untuk memperlihatkan wajah cerianya. Sementara Yeonhee, gadis itu tak bisa melepaskan pandangannya dari Seokmin. Ia merasa ada yang aneh dengan sikap laki-laki yang duduk di sampingnya itu. Selama berteman dengan Seokmin, Yeonhee hampir tidak pernah melihatnya segusar ini.
“Seokmin..”
Yeonhee memberanikan diri untuk memanggil nama Seokmin. Laki-laki itu langsung menoleh dengan ekspressi kaget. “Ya?..” tanyanya.
“Apa kau merasa tidak nyaman setelah bertemu dengan ibuku?” tanya Yeonhee balik. Ia berasumsi kalau Seokmin menjadi aneh begini sehabis bertemu dengan ibunya.
“Tidak! Sama sekali tidak, hahaha!” Seokmin cepat-cepat menangkalnya. “Ibumu sangat ramah, mana mungkin aku dibuat tidak nyaman dengannya.”
Yeonhee menghela napas lega. Setidaknya, Seokmin sudah mengkonfirmasi kalau bukan ibunya yang membuat laki-laki itu segusar sekarang. Jika hal itu sampai terjadi, Yeonhee pasti akan merasa tidak enak dengan Seokmin.
Beberapa saat kemudian, mereka telah sampai di depan sebuah café yang terletak di daerah Apgujeong. Yeonhee tidak pernah ke tempat itu sebelumnya, jadi tidak heran kalau ia tercengang hebat begitu mereka sampai. Setelah membayar taksi sesuai dengan tarif yang tertera di agrometernya, Seokmin mengajak Yeonhee untuk segera masuk ke café tersebut.
Gadis itu melongo ketika melihat ramainya pengunjung di sana. Desain interior bagian dalam café itu juga membuatnya terperangah karena bernuansa vintage dan didominasi oleh warna pastel. Vintage dan warna pastel adalah dua hal yang sangat disukai Yeonhee.
“Ayo, aku sudah memesan tempat untuk kita!”
Tanpa membuang-buang waktu, Seokmin langsung mengamit tangan Yeonhee dan menuntunnya ke meja kosong di depan panggunglive acoustic. Yeonhee sempat dibuat tercengang karena adanya panggung tersebut.
“Whoaaa..” gumam Yeonhee.
“Bagaimana? Tempat ini tidak terlalu buruk, kan?” sahut Seokmin seraya mempersilahkan Yeonhee duduk duluan.
“Ini.. ini tempat yang luar biasa..” ungkap Yeonhee jujur. “Aku sangat suka café ini…”
Seokmin tersenyum lebar ketika melihat pandangan gadis itu menjalar ke seisi café. Tak lama setelah mereka melepaskan mantel masing-masing, seorang pelayan datang sembari membawa nampan berisi makanan. Yeonhee terkejut karena pelayan itu sudah membawa makanan untuk mereka berdua, padahal ia belum sempat melihat menu. Tapi yang lebih membuatnya terkejut, makanan yang disajikan untuknya adalah spaghetti Oglio Olio.
“Seokmin.. ini kau yang memesan?..” tanya Yeonhee memastikan.
Seokmin mengangguk. “Ya, aku sengaja memesan makanannya lebih dulu supaya kita tidak lama menunggu.” jawabnya santai.
“Tapi, darimana kau tahu aku suka sphagetti Oglio Olio?”
“Lho? Bukannya dulu kau pernah bilang itu sphagetti favoritmu?”
Yeonhee terdiam sejenak. Ia mengerutkan keningnya begitu mendengar jawaban Seokmin tadi. “Dulu? Dulu kapan?”
Seketika ekspressi wajah Seokmin berubah. Cengiran yang tadi menghiasi bibirnya kini digantikan dengan bibir terkatup, serta kedua matanya membulat. Buru-buru ia mengklarifikasi pernyataannya tadi.
“Ma-maksudku.. hanya insting, spaghetti Oglio Oliodi sini sangat enak, kau pasti menyukainya.. itu maksudku..” kata Seokmin sambil menggaruk kepala bagian belakangnya dengan kikuk.
“Oh.. jadi kau memesan makanan ini sebagai rekomendasi untukku, ya?..” ujar Yeonhee akhirnya paham.
“Iya, hehehehe.” Seokmin lantas memegang sendok dan garpunya sembari tertawa. “Makanlah, mumpung masih hangat.”
Yeonhee ikut tersenyum. Diraihnya sendok dan garpu yang ada di hadapannya dan ia mulai menikmati spaghetti Oglio Olio yang dipesankan Seokmin untuknya. Kegelisahannya hari ini langsung hilang begitu indra pengecapnya merasakan kenikmatan makanan itu. Sesaat mereka berhenti bicara karena sibuk menghabiskan makanan masing-masing.
~~~~~
“Bagaimana makanannya?”
Seokmin membuka pembicaraan lagi usai menghabiskan makanannya. Yeonhee yang juga hampir menyelesaikan makanannya sendiri, mengalihkan pandangannya ke arah Seokmin. Laki-laki itu menatapnya dengan cemas, takut-takut Yeonhee malah tidak suka makanan café yang ia rekomendasikan.
“Kau sangat beruntung bisa kerja sambilan di sini,” terang Yeonhee sambil tersenyum. “Makanannya enak sekali, penampilan akustiknya juga sangat bagus, dan desain serta suasana café ini begitu hangat.”
Setelah mengutarakan pendapatnya, Yeonhee kembali melihat-lihat seisi café tersebut dengan kagum. “Ini aneh, tapi.. tempat ini seperti gabungan hal-hal yang kusukai..”
Laki-laki itu menyengir lebar begitu mendengar pendapat Yeonhee barusan. “Syukurlah kau menyukainya! Tidak salah aku mengajakmu ke tempat ini!” kata Seokmin gembira.
Yeonhee tersenyum melihat ekspressi gembira Seokmin. “Oh’ya, omong-omong, kau bekerja di sini sebagai apa, Seokmin? Daritadi kau belum bilang apa pekerjaanmu.”
Seokmin senyum-senyum sendiri. Ia kemudian menunjuk ke arah piano hitam yang berada di atas panggung. “Aku bekerja di sini sebagai pembawa lagu balada!” jawabnya antusias.
Yeonhee dibuat terkejut karena hal itu. “Ba-balada?!”
“Ya, selain ada penampilan akustik di sini, ada juga penampilan lagu balada dengan piano, orang yang membawakan lagu itu adalah aku.”
Yeonhee tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya sekarang. Ia membayangkan bagaimana orang yang disukainya ini membawakan lagu balada—jenis lagu favoritnya—. Pasti Seokmin terlihat keren dan romantis.
“Mau melihatku tampil?”
Lagi-lagi Seokmin membuatnya terkejut karena pertanyaan yang barusan ia lontarkan. “A-apa?!”
Tanpa menunggu jawaban Yeonhee, Seokmin segera berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah panggung. Begitu penampilan akustik di atas panggung selesai, Seokmin langsung naik ke panggung dan duduk di kursi piano. Yang bisa Yeonhee lakukan sekarang hanya duduk tercengang melihat aksi Seokmin.
“Selamat malam semua!” sapa Seokmin dengan nada ceria lewat mic yang terpasang di piano. “Namaku Lee Seokmin, mungkin bagi pelanggan setia café ini namaku sudah tak asing di telinga mereka, hehehe.”
Seluruh pelanggan café langsung ribut begitu mendengar perkataan Seokmin tersebut. Tidak sedikit juga yang meneriakkan namanya dari meja makan. Mereka pasti pelanggan setia yang dimaksud Seokmin tadi.
“Aku bekerja di sini sebagai pembawa lagu balada, dan hari ini, aku datang bersama teman kelasku yang sangat spesial.”
Pelanggan café semakin ribut mendengarnya, ada juga yang bersiul-siul menggoda Seokmin. Laki-laki itu memandang Yeonhee sebentar, lalu tersenyum ke arahnya. Semburat merah langsung mewarnai pipi Yeonhee setelah mendapat perlakuan istimewa itu dari Seokmin. Telinganya juga panas karena Seokmin barusan memberinya sebutan ‘teman kelas spesial’.
“Karena dia spesial, jadi hari ini aku akan menyanyikan sebuah lagu untuk gadis itu. Memang lagu ini bukan lagu balada, tapi lagu ini sangat penting bagi berdua. Karena lewat lagu ini, aku bisa mengutarakan perasaanku padanya.”
Mendengar hal itu, ekspressi Yeonhee tiba-tiba berubah. Ia terlihat bingung dengan ucapan Seokmin barusan. Belum sempat kebingungannya terjawab, kini Yeonhee mendengar Seokmin mulai melakukan permainan pianonya. Jari-jari handalnya memainkan nada demi nada dengan tepat, sehingga lagu yang ia bawakan membuat hati para penontonnya terenyuh. Termasuk Yeonhee sendiri.
“My dear, the moment I first saw your eyes Oh I
My dear, I fell into an unknown heart fluttering scent
I always only looked at your eyes
I hoped that you would always look at me too
I will tell you now. With this voice Oh”
Seokmin mulai melantunkan bait lagu tersebut dengan suara merdunya. Terkadang matanya terpejam, sebagai bentuk penghayatannya. Lagu yang ia nyanyikan sangat lembut dan membuat pendengarnya senyum-senyum sendiri.
Akan tetapi, lagu itu malah membuat telinga Yeonhee berdengung. Denyutan yang amat sakit menyerang kepala Yeonhee, dan ia sendiri tidak bisa menahan rasa sakitnya. Kini kepalanya berputar-putar, bersamaan dengan tubuhnya yang menjadi limbung. Pandangannya semakin tidak jelas, hingga akhirnya semua menjadi gelap.
~~~~~
“Oh my dear, just by looking at you, Oh I
Oh my dear, just thinking about you, Oh I
Each day passed by so quickly I hoped that you would always look at me too
I will tell you now. With this voice Oh”
Yeonhee mendengar nyanyian itu dari dapurnya. Ia terkekeh geli sambil membayangkan si penyanyi yang sedang bermain piano di ruang keluarganya. Gadis itu kemudian melepas celemek yang ia pakai, lalu berjalan ke ruang keluarga sambil membawa hasil masakannya.
“Roy Kim – Love Love Love!” celetuk Yeonhee kepada laki-laki yang sedang bermain piano di ruang keluarganya.
Laki-laki itu menoleh ke arah Yeonhee, ia tersenyum sambil tetap mendendangkan lagu tersebut. Begitu lagu itu selesai dimainkan, Yeonhee menghampirinya dan memberikan hasil masakannya pada laki-laki itu. “Makanlah.” kata Yeonhee.
“Oglio Olio lagi?”
Laki-laki itu tampak kurang suka dengan makanan yang diberikan Yeonhee. “Apa kau tidak bisa memasak menu lain? Aku bosan, tahu!” protesnya.
“Jangan protes, ah!” umpat Yeonhee. “Itu spaghetti favoritku, sangat susah membuatnya, tahu! Aku harus sering-sering latihan memasak spaghetti Oglio Olio supaya resepnya bisa diingat!”
Laki-laki itu terkekeh geli melihat wajah cemberut Yeonhee. “Ya, ya, aku cuma bercanda.” sahut laki-laki itu. Ia kemudian melahap spaghetti buatan Yeonhee.
“Wah! Rasa spaghettimu semakin mantap!”
Yeonhee tampak senang sekali mendengar pujian itu. Ia lantas duduk di samping laki-laki itu dan menekan tuts piano secara acak. “Kau sendirian lagi di rumah?”
“H-hng..” laki-laki itu menjawab dengan mulut penuh berisi spaghetti.
“Karena itu kau ke rumahku dan minta dibuatkan makan siang?”
“H-hng..”
Yeonhee menghela napas panjang. Itu sudah jadi alasan tetap mengapa tetangga sekaligus sahabatnya ini ke rumahnya untuk minta jatah makan siang. Ia lantas berhenti memainkan tuts piano, kemudian meraih novelnya yang terletak tak jauh dari sana.
“Ih, apa enaknya jadi kutu buku, heh?” sindir laki-laki itu ketika Yeonhee mulai membaca novelnya.
“Diam dan makanlah, aku tahu kau iri dengan kemampuan membaca cepatku.” sahut Yeonhee tajam. Ia sukses membuat laki-laki itu kalah telak.
“Omong-omong, belakangan ini kau sering menyanyikan lagu ‘Roy Kim – Love Love Love’ setiap main piano di rumahku, kenapa?” tanya Yeonhee kemudian.
Laki-laki itu terdiam lama. Ia mengunyah makanannya sampai bisa ditelan semua, sehingga mulutnya tidak penuh lagi. “Kau tahu apa arti lagu ‘Roy Kim – Love Love Love’ itu?” tanya laki-laki itu tiba-tiba.
“Hm?” Yeonhee mengernyit, ia lantas menghentikan kegiatan membacanya dan menatap laki-laki itu.
Kedua mata sipitnya balas menatap Yeonhee begitu dalam, cengiran lebarnya dikeluarkan. “Itu lagu yang menceritakan tentang seorang pria yang ingin menyatakan perasaannya pada wanita yang ia sukai.” kata laki-laki itu frontal.
Mata Yeonhee kemudian membulat. “Ja-jadi kau ingin menyatakan perasaanmu!?”
“Ya.”
“Siapa gadis yang kau suka itu?” tanya Yeonhee antusias. Ia penasaran siapa gadis hebat yang mampu meluluhkan hati sahabatnya yang aneh ini.
“Dia memiliki rambut hitam panjang, dia pintar, lucu, lumayan cantik juga, kakinya panjang, dan sangat mengerti diriku.”
Yeonhee berpikir keras. Selama ini ia belum pernah melihat laki-laki itu dekat dengan perempuan lain, dari ciri-ciri yang diberikannya, tampaknya perempuan itu berada di kelas yang berbeda dengan kelas mereka.
“Oke, aku menyerah untuk menebak. Cepatlah, beritahu saja namanya!” desak Yeonhee tak sabaran.
“Namanya, Joo Yeonhee.”
Seketika Yeonhee terdiam. Ia mengirjap-irjap beberapa kali, memastikan yang barusan itu nyata atau ilusi. “A-apa?”
Laki-laki itu tersenyum penuh arti. “Ya, orang yang kusukai itu adalah kau.” tegasnya. “Selama ini aku selalu menyanyikan lagu itu di rumahmu karena sebenarnya aku ingin menyatakan perasaanku padamu.”
Yeonhee lantas berdiri dari tempat duduknya. Ia mendadak jadi gugup setelah mengetahui perasaan sahabatnya itu, bahkan saking gugupnya, tangannya sampai menjatuhkan novel yang ia pegang tadi. “Eeehhh… tapi… aku…”
“Tidak usah dijawab,” kilah laki-laki itu dengan enteng. “Aku bukan orang yang suka memaksa, kok.”
Laki-laki itu kembali melanjutkan makannya dengan santai, seakan ia tidak habis menyatakan perasaannya pada Yeonhee. Beberapa saat kemudian, ibu Yeonhee datang dengan kantong belanjaan penuh di kedua tangannya.
“Oh! Hari ini Seokmin datang!” sahut ibu Yeonhee gembira.
“Halo, bibi!” sapa Seokmin dengan mulut penuh berisi spaghetti. “ Ya ampun! Bibi habis borong diskon di pasar?! Banyak sekali belanjaannya!”
“Hahaha, iya! Hari ini suamiku pulang lebih awal, jadi harus kubuatkan makan malam istimewa!”
“Biar kubantu, Bi!”
Laki-laki itu menghentikan kegiatan makannya dan langsung membantu ibu Yeonhee membawa belanjaan ke dapur. Sedangkan Yeonhee, gadis itu masih dalam keadaan berdiri mematung. Ia memandang sosok laki-laki itu dengan tidak percaya.
Jantungnya berdegup dengan kencang, pikirannya melayang entah kemana. Ia masih belum percaya kalau tetangga yang tinggal di sebelah rumahnya, sahabatnya sejak TK, serta teman duduk sebangkunya selama 5 tahun itu, telah menyatakan perasaan padanya saat duduk di bangku kelas 2 SMP. Ia tidak menyangka kalau orang yang pertama kali menyatakan perasaan padanya adalah Lee Seokmin.
~~~~~
Seminggu setelah kejadian itu, Yeonhee mendatangi ruang musik sekolahnya ketika jam istirahat berlangsung. Ia terlihat gugup, tapi juga bersemangat untuk mengatakan hal penting kepada seseorang. Itulah yang membuat ia rela berlari sprint agar cepat sampai di sana.
“There’s no need for words,
Deep inside of my eyes it’s clear and full
Of my feelings towards you
Would you give me your heart, that was whisperingly hid
Hold my hands
I will never let you go
I will wait for you, and only you”
Lagu yang dinyanyikan dengan suara tenor itu didengar Yeonhee saat ia sampai di depan pintu ruang musik. Yeonhee langsung tahu siapa yang sedang bernyanyi di dalam sana. Tentu saja orang itu Lee Seokmin, si penunggu ruang musik setiap jam istirahat.
Tanpa berpikir panjang, Yeonhee membuka pintu ruang musik dan berjalan ke dalam. Dilihatnya Seokmin sedang asyik bermain piano di tengah ruangan, saking asyiknya sampai-sampai tidak menyadari kehadiran Yeonhee. Gadis itu terkekeh pelan.
“After School – When I Fall.” celetuk Yeonhee dengan suara yang keras.
Seokmin terperanjat kaget mendengar suara gadis itu. Ia segera menghentikan permainan pianonya dan menoleh ke arah Yeonhee. “Sejak kapan kau di sini!?” tanya laki-laki itu kaget.
Yeonhee tersenyum malu-malu. Ia lalu berjalan mendekati piano. “Ada hal yang ingin kukatakan padamu.”
Kedua alis Seokmin terangkat, rasa ingin tahunya langsung bangkit dari tempat peristirahatan. “Apa?”
Gadis itu tidak menjawab. Ia terus berjalan sampai tubuhnya berada di sisi kiri piano. Yeonhee memutuskan untuk duduk di samping Seokmin. “Ini.. mengenai pengakuanmu seminggu yang lalu..” kata Yeonhee pada akhirnya.
Seokmin membalikkan badannya hingga berhadapan dengan Yeonhee, namun gadis itu malah menundukkan kepala dan menghindari tatapan mata Seokmin. “Hei, inikah sikap orang yang mau bicara? Aneh sekali!” canda Seokmin sambil tertawa.
Yeonhee berusaha menghalau rasa gugupnya dengan memainkan tuts piano sembarangan. “Selama satu minggu ini… aku terus memikirkan bagaimana perasaanku terhadapmu, dan sekarang aku tahu jawabannya…” ujar Yeonhee terbata-bata.
“Benarkah? Bagaimana?”
“Kau.. kau memiliki sikap yang manis, Seokmin.. Kau selalu berhasil membuat orang lain menyukaimu, seperti.. ibuku dan ayahku contohnya..” ungkap Yeonhee berusaha untuk tidak gagap.
“Kau juga mahir memainkan piano, lagu apapun yang kau mainkan, orang yang mendengarkannya pasti akan menyukai lagu itu, meskipun mereka tidak tahu judul lagunya. Contohnya aku, aku jadi menyukai lagu pop ‘After School – When I Fall’ setelah mendengar permainan pianomu di rumah, padahal jenis lagu kesukaanku adalah lagu balada..”
Seokmin mendengar kata-kata Yeonhee itu sambil tersenyum, namun ia tidak berkomentar apa-apa agar Yeonhee menyelesaikan kalimatnya.
“Awalnya aku sempat berpikir kalau aku ini mengagumimu. Tapi, aku jadi tidak yakin dengan hal itu setelah kau tampil di acara festival sekolah bulan lalu.”
Yeonhee mulai bisa berbicara dengan normal. “Banyak perempuan yang langsung menyukaimu setelah menonton penampilanmu. Mereka mendatangiku dan memohon bantuanku agar bisa membuat mereka bisa dekat denganmu. Melihat tingkah mereka itu, aku jadi merasa.. kesal.”
“Kesal?!” Seokmin cukup terkejut mendengar kalimat terakhir Yeonhee tadi.
Gadis itu berhenti memainkan tuts piano, tangannya beralih ke atas pahanya dan mengepal kuat. “Aku kesal karena aku bukan satu-satunya perempuan yang mendengar nyanyianmu, aku kesal karena mereka ingin dekat denganmu. Aku.. aku kesal dengan semua perempuan yang menyukaimu.” terang Yeonhee sambil menahan malunya setengah mati.
“Mungkin bisa dibilang, aku cemburu.”
Suasana dalam ruang musik hening. Yeonhee masih tidak berani mengangkat kepalanya karena masih malu. Seokmin tak kunjung mengeluarkan suara, laki-laki itu masih duduk di sampingnya dalam keadaan diam. Yeonhee mulai putus asa, tampaknya pengakuannya sangat konyol di telinga Seokmin.
“Jadi maksudmu, kau ini juga menyukaiku?”
Akhirnya, Seokmin mengeluarkan satu pertanyaan itu beberapa menit kemudian. Yeonhee langsung menjawabnya dengan anggukan kecil, tetapi kepalanya masih belum berani untuk diangkat. Tiba-tiba, kedua tangan Seokmin memeluk tubuh Yeonhee dengan begitu erat. Laki-laki itu tertawa.
“Astaga! Aku tidak menyangka bisa mencuri hati gadis Tongyeong yang manis ini!” sahut Seokmin yang berhasil membuat semburat merah muncul di pipi Yeonhee.
~~~~~
“Seokmin!!”
Yeonhee berlari cepat menghampiri Seokmin yang diam di depan gerbang sekolah. Hari ini Yeonhee pulang telat karena ada tugas piket kelas, jadi tak heran kalau gedung SMP mereka sudah sepi waktu Yeonhee mau pulang.
“Kenapa kau ada di sekolah? Bukannya tadi pagi kau absen karena menjenguk nenek di Jeju?” tanya Yeonhee heran.
Seokmin tersenyum tipis. Ia tidak seperti biasanya, ceria, penuh lelucon, dan selalu memamerkan cengiran aset terbaiknya. Sekarang ia malah terlihat sedih dan seperti menyembunyikan suatu hal yang penting.
“Ada apa, Seokmin?” tanya Yeonhee lagi, kali ini ia mulai khawatir.
Seokmin tiba-tiba memeluk Yeonhee. Napasnya berantakan, dan ia tampak gelisah. “Yeonhee, maafkan aku..”
Yeonhee dengan cepat melepas pelukan Seokmin. Ia menatap laki-laki itu dengan bingung. “Kenapa minta maaf?”
Seokmin membisu. Matanya menghadap ke tanah, seolah menghindari tatapan mata Yeonhee. Cukup lama ia melakukan itu, sampai akhirnya kedua mata Seokmin berhasil membalas tatapan Yeonhee. “Aku tidak bisa bersamamu di Teongyeong lagi.”
Yeonhee terkejut setengah mati. Hatinya seperti diremas-remas. “Barusan itu.. kau minta kita putus..?” kata gadis itu dengan mata berkaca-kaca.
“Tidak, bukan itu maksudku!” tukas Seokmin.
Ia tampak sulit mengungkapkan kata-katanya sehingga frustasi sendiri. Satu tangannya kemudian mengambil sepucuk surat dari saku mantelnya. Ia memberikan surat itu kepada Yeonhee. “Bacalah ini, semua penjelasanku ada di surat ini, jaga dirimu.” kata Seokmin terburu-buru.
Setelah itu, Seokmin berlari keluar gerbang sekolah dan segera memasuki mobil milik ayahnya yang terparkir di seberang jalan. Begitu Seokmin masuk, mobil itu langsung melaju cepat meninggalkan sekolah. Yeonhee belum sempat mengeluarkan kata-katanya. Dalam keadaan masih setengah percaya, tangan gemetar Yeonhee membuka surat pemberian Seokmin. Ia lalu membacanya.
[Maaf, aku berbohong hari ini, Yeonhee.
Aku tidak absen karena menjenguk nenek di Jeju, tapi aku absen karena harus mengurus kepindahanku dari Teongyeong. Ayah dan ibuku memutuskan untuk pindah ke Seoul. Mau tidak mau, aku juga harus ikut mereka dan melanjutkan sekolah di sana.
Orang tuamu sudah lebih dulu tahu tentang kepindahan keluargaku daripada kau. Ibuku sudah memberitahu rencana ini pada mereka sejak tiga hari yang lalu. Jangan khawatir, aku sudah berpamitan pada mereka pagi ini. Dan, euhm, orang tuaku minta maaf karena tidak sempat berpamitan padamu, kami pindah terlalu dikejar-kejar waktu.
Satu lagi, aku minta maaf karena tidak bisa menepati janji kita yang akan terus bersama di Teongyeong. Kelanjutan hubungan kita ini, sepenuhnya berada di tanganmu. Jika kau sanggup berhubungan jarak jauh, maka telpon aku segera dan bilang kau sanggup. Jika tidak, kau tak usah menelponku dan aku akan menghilang dari hidupmu. Aku menerima segala keputusanmu.
Tapi perlu kau tahu, meskipun nantinya kita putus, aku tetap tak bisa melupakanmu. Kau adalah cinta pertamaku, dan hatiku akan selalu untukmu, Yeonhee.
—Seokmin]
Air mata Yeonhee mengalir deras. Ia mencari-cari ponselnya di saku rok seragam, lalu buru-buru mencari nomor Seokmin untuk dihubungi. Begitu menempelkan ponselnya di telinga, gadis itu langsung berlari keluar gerbang sekolah. Ia melakukan lari sprint untuk mengejar mobil milik ayah Seokmin yang sekarang sudah hilang dari pandangannya.
Yeonhee tak bisa berpikir jernih lagi, ia bahkan tidak sadar kalau saat ini ia sedang berlari di luar trotoar jalan. Hanya Seokmin yang ada dipikirannya, ia harus cepat-cepat memberitahu laki-laki itu kalau ia sangat sanggup menjalani hubungan jarak jauh. Ia tidak ingin putus.
Tetapi, Yeonhee terpaksa harus berhenti berlari. Sebuah truk makanan tidak sengaja menyerempet tubuhnya dari belakang, Yeonhee terpental jauh dan kepalanya membentur trotoar jalan dengan keras. Ponsel yang ada di tangannya rusak karena terbanting, panggilan untuk Seokmin seketika gagal. Gadis itu kehilangan kesadaran, dan darah segar mulai mengalir keluar dari kepalanya.
~~~~~
Yeonhee membuka matanya perlahan. Pandangannya menangkap sosok orang tuanya yang kabur. Ia mengirjap beberapa kali, lalu berangsur-angsur bisa melihat kedua orang tuanya tengah memandangnya dengan panik.
“Yeonhee, kau sudah sadar!? Apa ada yang luka!?” tanya ayah Yeonhee dengan cepat. Pria paruh baya itu memegang tangan Yeonhee dengan erat, wajahnya terlihat sangat kusut karena terlalu cemas.
“Oh… akhirnya kau bangun juga, Nak…” ibu Yeonhee mengelus wajah gadis itu sambil menangis. “Ibu khawatir sekali begitu mendapat kabar kau masuk rumah sakit….”
Yeonhee berusaha menegakkan tubuhnya. Ia memandang sekitar, mendapati dirinya sedang berada di kamar rawat rumah sakit. Selang infus tertancap di tangan kirinya, dan kini pakaiannya telah diganti oleh pakaian pasien rumah sakit. Ia kembali mengingat kejadian-kejadian asing yang diputar secara cepat dalam otaknya barusan. Gadis itu memegang kepalanya, masih merasakan ada denyutan di sana.
“Ayah.. ibu.. apa aku mengalami amnesia?..”
Orang tua Yeonhee terkejut begitu mendengar pertanyaan yang ia ucapkan. Mereka berdua saling bertukar pandang, lalu menatap Yeonhee dengan iba.
“Begini,” ayah Yeonhee akhirnya angkat bicara. “Kau mengalami kecelakaan waktu SMP, dan sejak saat itu menjadi setengah amnesia. Dokter bilang ada beberapa memori di otakmu yang hilang, dan memerlukan waktu yang lama untuk mengembalikannya.” tutur ayah Yeonhee.
“Kata dokter,… kepalamu akan mengalami rasa sakit yang luar biasa bila terjadi pemaksaan mengingat memori yang hilang…” timpal ibu Yeonhee yang masih menangis. “Karena itulah… kami berdua berusaha untuk tidak mengembalikan ingatanmu yang hilang, kami bersikap seolah kau tidak pernah amnesia..”
Mata Yeonhee berkaca-kaca. Ia mengingat kembali kesadarannya yang hilang sewaktu berada di café, dan seketika ia juga teringat kilasan-kilasan peristiwa yang berputar cepat dalam otaknya tadi.
“Lalu.. siapa yang membawaku ke rumah sakit!?..”
“Eee… dia—”
“Dimana dia sekarang!?!”
Mendadak Yeonhee menjadi panik. “Ayah, ibu, dimana dia!?!” seru Yeonhee histeris.
“Dia sedang berada di lobby,” jawab ayah Yeonhee sembari menundukkan kepala.
Yeonhee kehilangan akal sehatnya. Ia langsung mencabut selang infus yang tertancap di tangannya, lalu melesat keluar dari kamar rawat. Gadis itu tidak mempedulikan seruan orang tuanya dari belakang, ia tetap berlari kencang untuk segera sampai di lobby. Tangisnya pecah, pandangannya kabur akibat air matanya sendiri.
Ia ingin bertemu laki-laki itu. Laki-laki yang selalu ada di kilasan-kilasan dalam otaknya tadi. Laki-laki yang selama ini menjadi ingatannya yang telah lama hilang akibat amnesia.
“SEOKMIN!!!”
Yeonhee berteriak sekencang mungkin ketika seorang laki-laki bermantel coklat muda hendak pergi dari lobby rumah sakit. Laki-laki itu menoleh dan langsung membulatkan mata begitu melihat Yeonhee.
“Astaga, Yeonhee!” seru Seokmin kaget. “Kenapa kau lari-lari!?! Kau harusnya istirahat, kan?!”
Yeonhee berhenti berlari ketika ia sudah berada tepat di depan Seokmin. Ia terengah-engah, lalu perlahan mengangkat wajahnya untuk melihat Seokmin. Laki-laki itu tambah terkejut. “Ya, ampun! Kenapa kau menangis!? Apa ada yang sakit!?” ujar Seokmin panik.
Air mata Yeonhee mengalir semakin deras. Ia berhambur ke dada Seokmin. Dipeluknya laki-laki itu dengan erat, dan ia menumpahkan semua air matanya di bahu laki-laki itu. Seokmin tidak bisa bergerak sekaligus bertanya-tanya atas sikap Yeonhee yang terlalu ganjil ini.
“Yeonhee—”
“Aku sudah ingat semua.. aku sudah ingat..” kata Yeonhee di sela-sela tangisnya.
Seokmin terdiam. Mulutnya terbuka karena kaget mendengar hal itu. “Eh!?”
“Waktu itu, aku tidak menghubungimu karena terlibat kecelakaan parah. Aku mengalami amnesia setengah, jadi aku melupakanmu dari ingatanku..” tutur Yeonhee sembari menangis. “Aku ingin sekali bilang padamu kalau jarak bukan masalah bagiku, aku siap mempertahankan hubungan kita, dan aku tidak mau kita putus..”
Laki-laki itu masih belum bisa berkata apa-apa. Ia lantas melepas pelukannya, kemudian memegang wajah Yeonhee dengan kedua tangan. Mata sipitnya menatap Yeonhee dengan lembut, namun tersirat berbagai perasaan di raut wajahnya. Sambil tersenyum getir, Seokmin menghapus air mata Yeonhee dengan menggunakan ibu jarinya.
“Sudah, sudah, jangan menangis lagi.” ujar Seokmin pelan.
“Maafkan aku, Seokmin.. semua ini salahku.. aku—”
“Untuk apa minta maaf? Kau mengalami kecelakaan dan amnesia! Ini sama sekali bukan salahmu!” sela Seokmin sebelum Yeonhee menyelesaikan kata-katanya.
“Akulah yang bersalah,”
Kedua tangan Seokmin mencengkram erat bahu Yeonhee. “Coba saja waktu itu aku tidak pergi.. coba saja waktu itu aku ada di sampingmu.. kau pasti tidak akan amnesia!..”
“Seokmin—”
“Maaf aku membohongimu, Yeonhee. Sebenarnya, saat kita bertemu di kelas waktu itu, aku sadar kalau kau hilang ingatan. Tapi aku tidak langsung mengungkapkannya, aku lebih memilih berdiam diri. Aku memutuskan bertemu dengan ibumu pada malam harinya, dia menceritakan semua padaku, tentang kecelakaan itu, tentang amnesia setengahmu, dan efek denyutan yang terjadi bila kau dipaksa mengingat memori yang hilang.”
Tangis Yeonhee bertambah begitu mendengar cerita Seokmin itu. “Lalu kenapa.. kenapa kau tidak berusaha membuatku ingat dari awal?..” ujar Yeonhee sambil menangis terisak.
“Aku tidak mau melihatmu kesakitan, Yeonhee.. dan aku tidak ingin memaksamu.. aku bukan tipe orang yang seperti itu..” tutur Seokmin lirih.
“Aku lebih memilih untuk mengulang semuanya dari awal. Aku mendekatimu lagi, mengikutimu lagi, dan berusaha membuatmu tertarik untuk yang kedua kalinya.” Seokmin tampak merasa bersalah kepada gadis itu. “Tapi, aku malah membuatmu pingsan karena menyanyikan lagu Roy Kim itu.” ujar Seokmin menyesal.
“Tapi berkat kau juga, ingatanku kembali..”
Giliran Yeonhee yang kini memegang wajah Seokmin dengan kedua tangannya. Ia masih menangis sesenggukan, namun bibirnya menyunggingkan senyuman yang lebar. “Maaf ya.. kau pasti menderita selama ini..” kata Yeonhee perlahan.
Seokmin menyengir. Kedua matanya meneteskan air mata yang daritadi sudah membendung. Ia mulai menangis sembari tertawa. “Aku sangat merindukanmu, Yeonhee..”
“Aku juga merindukanmu, Seokmin..”
Mereka lalu berciuman di lobby yang dingin itu. Kedua tangan Seokmin memeluk tubuh mungil Yeonhee dengan erat, sehingga gadis itu merasakan kehangatan yang luar biasa. Tanpa mempedulikan pendapat semua orang yang berlalu-lalang di lobby rumah sakit, mereka menghentikan ciuman itu. Keduanya saling tertawa, walau masih ada air mata yang tertinggal di wajah mereka.
Seokmin kemudian menempelkan kening mereka berdua. Ia memejamkan mata sejenak. “Biarkan kita seperti ini sebentar,” bisik laki-laki itu.
Yeonhee pun tak memprotes. Ia juga ingin berada dalam posisi tersebut untuk beberapa saat. Saat ini jantungnya berdebar sangat kencang, perutnya seperti digerayangi kupu-kupu yang terbang karena terlalu bahagia.
“Seokmin..” panggil Yeonhee kemudian.
“Ya?”
Gadis itu kembali tertawa pelan. Matanya yang sembab menatap Seokmin dengan penuh kasih. “Aku rasa, kita berdua memang sudah ditakdirkan,” ujar Yeonhee. Kedua tangannya bergerak memegangi wajah Seokmin lagi.
“Benarkah?”
“Ya, karena kau selalu berhasil membuatku jatuh cinta lagi padamu, bahkan untuk yang kedua kalinya.”
Alis Seokmin terangkat. Mata sipitnya yang berhiaskan air mata membelalak setelah mendengar ucapan itu dari Yeonhee. Hidungnya mengembang dan menghempis, dan perlahan cengiran aset terbaiknya dikeluarkan. “Ya! Pasti begitu!” sahut Seokmin.
~~fin~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar