DONGENG HUJAN
DONGENG HUJAN
An Oneshot
By Risuki-San
SHINee’s Onew & IU | Teenager | Fantasy, Friendship, Family, Romance
Jinki <3 Jieun and Chase Lee <3 Lily
© 2015 Risuki-san
Note :
Cetak miring dan merah itu artinya tulisan yang ada di buku tua XD
Contoh : Kak Onyu ganteng
itu artinya tulisan yang tertulis di buku milik Jieun XD
Paham ?
Semoga paham yaa .-.
.
‘Jadilah lily putih yang merindukan hujan, jadilah bagian dari duniaku’
.
Dongeng Hujan
Bibir yang terbuka, merapalkan kalimat yang ia baca, Jieun, nama gadis itu. Ia selalu melakukannya.
Ada makhluk ajaib yang akan datang, pada sebuah bangku dengan seseorang, dalam diam dan menunggu, lalu titik-titik air yang seolah memanggil-manggil namanya, sepasang sayap mengepak disusul sebuah payung yang kemudian ia tawarkan.
Mereka menyebutnya…Peri Hujan.
“Peri Hujan?”
Mengatakannya, dahinya mengkerut karena berpikir keras, memutuskan untuk membalik lembar demi lembar buku tua miliknya.
Sebuah senyum yang selalu terukir kala melihatnya, tak pernah berubah sejak sepuluh tahun lalu saat ia membacanya pertama kali.
Sebaris kalimat sederhana yang Jieun harap dapat mendengarnya dari seseorang.
“Jieun, selamat ulang tahun!”
Mengucapkan untuk dirinya sendiri dan tak ada yang salah dengan itu.
Jari-jari kecil Jieun menyentuh permukaan tulisan tangan yang ia tahu siapa pemiliknya, tulisan tangan dengan harapan-harapan indah yang di lantunkan, tulisan tangan renta milik ayahnya.
PLUKK
Menutup buku pemberian Tuan dan Nyonya Leesaat ia berusia tujuh tahun, hadiah terakhir sebelum sebuah kecelakaan menghancurkan segalanya.
Meletakkan buku tua itu ke dalam tas, membawanya kemanapun karena Jieun ingin terus mengingatnya, jika ia pun memiliki mereka, orang-orang yang menyayanginya.
Beranjak dari kursi tua, mata kecil yang menatap pada jendela, meraih kain putih transparan yang menghalanginya.
“Hari ini akan hujan kan?”
Bertanya pada dirinya dan sebuah harapan yang terselip, ia ingin hujan, ia ingin menemuinya, dia yang mereka sebut…peri hujan.
.
.
.
Dia bersinar lebih terang dari pancaran matahari, bayangannya tidak kelabu tapi berwarna seperti pelangi.
Kaki kecilnya melangkah pelan, sepatu merah jambu dengan tali yang tidak diikat dengan benar dan…
DUKK
Menginjaknya dan muka putih yang bersiap menyapa tanah. Tapi tidak, karena sebuah tangan menariknya.
“Kau baik-baik saja?”
Jieun memerah, ia malu saat telapak besar itu menggenggam jari-jari kecilnya. Mulutnya bungkam, bibirnya kaku hanya untuk sekedar mengucapkan terima kasih.
“JINKI SUNBAE!!”
Sebuah suara nyaring yang kemudian mengambilnya, mengambil Jinki dari hadapannya.
“Luna?”
Jieun mengucapkannya dan sebuah tanya yang memenuhi hatinya.
.
.
.
Hanya rangkaian kata sederhana, hanya satu makna…
Tulus.
Tak mengharapkan apapun selain kebahagiaannya.
Lee Jieun, selamat ulang tahun…
.
.
.
“Apa?”
Tiga pasang mata yang memandangnya, ada sorot tak nyaman yang menghujamnya. DanJieun memahaminya, ia mengerti.
“Apa maksudmu? Jadi tak ada perayaan untuk tahun ini?!”
Sebuah tanya dengan nada tak terima yangJieun tahu apa maksudnya.
“Kalian bersenang-senanglah tanpa aku”
Menyerahkan sebuah kartu emas yang kemudian menghembuskan angin sejuk diantara helaian rambut ketiga sahabatnya.
.
.
.
Tak banyak yang Jieun pahami, hanya tiga gadis yang tumbuh bersamanya.
Jiyeon,
Suzy,
Luna,
Hanya mereka dan…
.
.
.
“Kalian tak perlu melakukan ini”
Jieun mengucapkannya, memandang tulus pada sosok perempuan paruh baya yang ia anggap seperti ibunya.
Membawa kue tart rasa mangga favoritnya, mengucapkan selamat ulang tahun bahkan saatJieun masih berada di sekolah.
“Tidak, bibi melakukannya karena merasa bersalah tak mengingat hari ulang tahunmu tahun lalu”
Bukan hanya tahun lalu tapi tahun-tahun sebelumnya pun sama, Bibi Lee tak pernah mengingatnya.
Jieun hanya diam, ia mengerti, ia paham lebih dari siapapun alasan dibalik Bibi Lee melakukan ini.
Tangan renta yang mengeluarkan sebuah map, mengulurkannya pada Jieun yang masih setia membentuk segaris senyum pada mukanya.
“Jieun, kau bisa tandatangani ini?”
.
.
.
Langit senja menghitam, Jieun sendirian. Duduk pada sebuah bangku taman, hanya diam dan tak ingin beranjak .
Kilatan petir dan kuatnya suara halilintar tak mengubah pertahanannya.
Jieun bertekad ingin menemuinya.
Dia adalah ayah yang melindungimu, dia adalah ibu yang menghujanimu dengan kasih sayang, dia adalah teman yang paling setia.
Mereka menyebutnya…Peri Hujan.
Dan buku tua yang terus Jieun genggam, tetesan air yang membasahi pakaiannya tapi tidak dengan buku tuanya.
Menghempaskan nafas kasar, Jieun kesal tapi buku yang kering saat tubuhnya basah kuyup. Terlihat ajaib dan Jieun merasa dipermainkan.
Memutuskan untuk mengakhirinya, langit gelap bukan karena mendung, bukan sore tapi malam yang mulai menakutkan seiring dengan hujan deras dan suara halilintar yang membuat merinding.
.
.
.
Berjalan diantara lautan manusia, pakaian khas seragam dengan rambut basah. Sebuah penantian bodoh karena menunggu peri hujan.Jieun melangkah pelan, tangan putih yang hendak melambai memanggil sebuah taksi tapi…
“YAK!! PENCURI!!”
Jieun berteriak, ia berlari segera setelah menyadari tas merah jambu miliknya diambil paksa oleh seseorang.
Jieun sendirian…
Ia berteriak meminta bantuan tapi tidak satu sosok pun melakukan sesuatu untuknya. Jieuntahu, mereka tahu, mereka melihatnya, tapi mereka diam.
Bukan tas mahal ataupun uang berlimpah tapi buku itu, buku pemberian orang tuanya dan…
Kepedulian mereka.
Tetes air dibalik kelopak jatuh bersama tetes hujan, tak terlihat secara kasat mata tapi suara yang tercekat, nafas yang menderu dan mata yang terpejam menahan sakit pada dadanya.
Kini Jieun mengerti, ia bukan hanya memahami Jiyeon, Suzy, Luna dan Bibinya tapi juga semua manusia di dunia.
Mereka sama, tidak tulus dan apatis.
“Lee Jieun”
Sebuah suara menghentikan tangisannya, tetesan air hujan yang tiba-tiba hilang, tak lagi menumbuk kasar permukaan kulitnya. Menatap pada seseorang yang mengulurkan payung padanya.
Dia…
Seseorang yang sama.
Mata sabit dengan sorot mata tajam, rambut kecoklatan dengan aroma hujan yang menguar. Ia kuat setegar karang namun lembut, lebih lembut dari tetesan salju saat musim panas.
Mereka menyebutnya…Peri Hujan
.
.
.
Pancaran matahari menyentuhnya, menghangatkannya diantara hembusan kasar angin yang menumbuk kulit putihnya.
Anak rambut yang beterbangan, menandakan betapa kuat angin pagi itu.
Jieun melangkah pelan, tangan kecilnya menggenggam sesuatu dengan sangat kuat. Otaknya berpikir, sangat keras.
Buku tua kesayangannya kembali, secara tak masuk akal menemukannya diatas rak buku.
“Selamat pagi”
Sebuah suara bass menyapa, Jieun tertegun sekali lagi.
Berpikir lama hingga suara kecilnya terulur pada udara, membuka sedikit bibirnya, mengucapkan kalimat yang sama namun terselip sebuah keraguan.
“…selamat…pagi”
Dan sebuah tatapan yang seakan tak bisa lepas,Jieun memandangnya, sosok yang terlihat sama,Jinki Sunbae dan peri hujan.
“Kau tidak terlihat baik-baik saja, apa kau sakit?”
Jieun tergagap melihatnya, Jinki yang bertanya, lalu memandangnya khawatir. Memutuskan untuk memalingkan pandangan.
Terasa canggung hingga membuatnya ingin berlari, berjalan dengan Jinki membuatnya seolah membeku.
Jieun bisa mati detik ini juga!
Mengatur nafas untuk membuat dirinya tenang, menarik sedikit udara lalu membuangnya pelan dan…
HATCHHIIII…
Virus dan bakteri yang beterbangan ke udara, hidung mungil yang memerah dan sedikit aliran bening diantara hidung dan bibir.
Jinki terkejut tapi Jieun jauh dari kata sekedar terkejut.
Ia seakan pingsan dan terapung di udara saat tangan besar itu menyentuhnya, melilitkan sesuatu yang hangat pada lehernya.
Sebuah syal.
“Ini sedikit terlambat, tapi selamat ulang tahun,Lily”
Mengucapkannya lalu menarik segaris senyum, meninggalkan Jieun untuk sepersekian detik.
Lalu…
Jieun mengedip pelan, Lily?
Mata sabit itu menghujamnya, dengan sebuah tatapan lembut, Jinki terlihat seperti sedang bicara dengannya tapi Lily, siapa Lily?
“Apa ini? Dongeng hujan?”
Jinki bertanya lalu menunjuk pada sebuah buku yang Jieun genggam, meraihnya lalu membolak-balik. Mata sabit yang entah mengapa seperti memancarkan sedikit cahaya, Jieun kembali tenggelam pada pesonanya.
Jinki adalah pangeran impian di sekolah.
“Berapa usianya? Buku ini terlihat lebih tua dari nenekku”
Jieun tersenyum kecil, kalimat sederhana yang mengingatkannya pada anak kecil.
“Syal ini…”
“Kau menyukainya?”
“Itu…”
“Aku merajutnya sendiri setahun yang lalu, untuk nenekku”
“Ehh…”
“Nenek bilang tak menyukainya, dia bilang warnanya seperti orang tua”
Jieun terdiam, otaknya berpikir keras, apa yang harus ia katakan, situasi yang sangat membingungkan saat Jinki terus melontarkan kalimat-kalimat aneh.
Jari kecilnya menyentuh pelan pada syal hangat yang menurutnya sangat indah.
“Aku suka warnanya”
Jieun mengucapkannya, menatap mata sabitJinki yang mengingatkannya pada seseorang.
Leher yang hangat kini terasa seperti tercekik,Jieun kesulitan bernafas saat tangan besar Jinkimenyentuh syalnya, merapikan posisi ini dan itu.
“Kau bisa memilikinya, kau suka?”
“Itu…”
“Sebagai gantinya aku akan mengambil bukumu”
“Tidak!”
Jieun menolak cepat, apapun tapi tidak jika itu buku tua miliknya.
“Kau bilang kau suka warnanya”
“Itu…”
Jieun tergagap, ia kesulitan mencari alasan.
Seketika sepasang mata Jinki tenggelam, hanya segaris lekuk sabit yang lebih indah dari purnama.
“Lily, kau lucu sekali”
Jinki mengucapkannya lalu tawa renyah yang meramaikan dunia. Meraih tangan kecil Jieundan meninggalkan buku tua itu disana.
.
.
.
Dua telapak mengepal, aura panas yang melingkupi dan amarah yang memenuhinya. Seluruh indera yang menyaksikannya terasa panas.
Membalik cepat posisi tubuhnya, melangkah menjauhi sesuatu yang membuatnya ingin meledak.
“Luna?”
Dan suara halus yang menahannya.
.
.
.
Langit sore yang tidak senja, namun gelap dengan hembusan angin. Menerbangkan helaian rambut begitu pun pikirannya.
Jieun melangkah pelan dengan sebuah tas ransel pada punggungnya, membuka gerbang tua yang sangat ia kenal.
KRETTT
Besi tua yang menyuarakan keluhannya.
Melangkah dengan daun-daun yang ia pijak, suasana hijau dari tanaman dan angin kering yang membuatnya bergerak dengan tidak teratur.
Jieun mengedip pelan, menatap pada sesuatu yang aneh pada pintunya.
Sepasang sepatu yang sangat ia kenal.
“Bibi Lee?”
Melepaskan sepatu hitamnya lalu melangkah, menelisik lebih jauh pada tiap sudut ruangan. Menemukan Bibi Lee dengan sesuatu yang tidak benar, jantungnya berdebar tidak rasional, kaki kecil Jieun melangkah mundur.
“Jieun, kau sudah pulang?”
Tapi terlambat.
“Jieun, kau…”
“Bibi Lee…kau…”
Seorang wanita paruh baya, Jieun sangat mengenalnya, Jieun tahu apa yang diinginkan wanita itu.
“Jangan mendekat!”
Bibi Lee berhenti, ia diam, memasang sebuah ekspresi bingung yang Jieun tahu itu palsu.
“Jieun, kau sangat pintar”
Mengatakannya lalu melangkah cepat, menjulurkan sebilah pisau tepat pada tubuhJieun.
Jieun meringis pelan saat cairan merah pekat mengalir, sudut matanya digenangi air bening, bukan hanya sakit tapi juga sebuah kesedihan.
Jieun sangat tahu sebanyak apa wanita tua itu menyukai uang. Tapi Jieun tak tahu jika Bibi Lee sanggup melakukan hal yang sebesar ini.
Bibi Lee mengatur segala bentuk harta yang ditinggalkan orang tua Jieun, tapi sekarang berbeda. Jieun berusia tujuh belas tahun dan dianggap sanggup mengatur semuanya sendiri. Dan ini bencana.
Berencana mengambil seluruh milik Jieun, termasuk jiwa gadis malang itu.
“Aku akan pergi!”
Jieun mengucapkannya, diantara darah pekat yang mengalir deras di kedua telapaknya. Jari-jari manis yang tersayat cukup dalam saat menahan ujung pisau.
“Apa?”
“Aku akan pergi, ambil semua harta orang tuaku! Tenggelamlah bersamanya!”
.
.
.
Bukan lagi sore dengan langit jingga, bukan lagi sore dengan langit gelap karena hujan tapi malam. Malam dengan warna gelap melingkupi seluruh pelosok kota, Jieun melangkah dengan sepasang kaos kaki yang langsung memijak tanah.
Bukan lagi putih tapi coklat gelap akibat tanah.
Dua mata kecil yang sembab dan air bening yang terus menggenang.
Menunggu dengan gelisah karena ini malam dan gerimis yang membuatnya menggigil. Memeluk erat buku tua yang menurutnya sangat ajaib, memberikan sedikit kehangatan dan kenyamanan disaat orang satu-satunya yang harus melindunginya justru memberikan bahaya.
“Jiyeon, Suzy, Luna!”
Memanggil tiga nama itu cepat, Jieun tersenyum lega saat menyadari jika ia tidak sendirian, ia memiliki tiga sahabat yang akan mengulurkan bantuan, iya kan?
“Apa?? jadi Bibi Lee??”
.
.
.
Jieun dengan tiap titik air yang menyentuhnya, bercerita dibawah hujan. Mata kecil yang memerah dan genangan air yang tak terlihat karena hujan.
Tatapan iba dan kasihan yang menghujam…
Bukan!
Tapi ada rasa malas yang terselip jelas.
“Lalu?”
Jiyeon bertanya.
“Aku sibuk, aku ada les piano hari ini, sudahlah aku duluan”
Suzy mengucapkannya lalu berlalu bersama Jiyeon, Jieun hanya membuka mulutnya tanda tak mengerti. Bukan karena persahabatan, tak bisakah mereka membantu sebagai wujud rasa perikemanusiaan?
Mereka bahkan bersikap acuh.
Hanya Luna yang menatapnya iba, secercah harapan meneranginya.
Mata kecil itu menunduk menatap pada kakinya yang lelah karena menunggu, basah dan kotor, terlihat mengenaskan. Berbanding terbalik dengan Luna dan sepatu bootnya yang bahkan terlihat indah di bawah sinar bulan.
“Seharusnya kau mati”
Bukan kalimat seperti ini yang ingin Jieundengar.
“Kenapa kau harus selamat?”
“…”
“Aku sangat membencimu!”
Jieun terdiam, ia sangat bodoh, tak mampu mencerna tiap kata yang ia dengar.
“KAU TAHU AKU MENYUKAINYA TAPI KAU MEREBUTNYA!”
Luna berteriak, lebih keras dari guntur yang sesekali mengusik, mata yang memerah dan dua telapak yang mengepal. Luna terlihat tidak baik-baik saja.
Jieun melangkah mundur, tubuhnya gemetar, ia bertanya-tanya, apa yang salah dengan dirinya, kenapa semua orang menginginkan dirinya lenyap.
“Aku…”
“KAU BISA MEMILIKI SIAPAPUN TAPI KENAPAJINKI OPPA!!”
Jieun menggeleng pelan, ini salah, ia tak tahu tentang Jinki dan Luna, ia tak pernah merebut siapapun darinya.
BRAKK
Luna membuang payungnya, mendekat padaJieun, meraih sesuatu milik Jieun yang Luna tahu sangat berharga.
Buku tua milik Jieun.
Menariknya cepat, melihatnya sebentar lalu menatap sang pemilik dengan selukis senyum dan tatap mata seolah ingin membunuhnya.
“Buku tua tak berguna”
Membagi buku tua itu menjadi dua bagian yang terpisah, merobek kasar lalu melemparnya ke tanah, menginjak dengan penuh amarah, mengabaikan jika tangan kecil Jieun pun disana. Diantara helaian kertas yang berserakan, basah dan kecoklatan karena tanah. Jieun berusaha menghentikannya.
Otot-otot jantung bekerja ekstra saat Jieunmenahan sesuatu yang melimpah di dalam hatinya, marah yang terakumulasi dan kemudian meledak, membiarkan semua orang tahu.
Mendorong Luna hingga tersungkur ke belakang.
Luna tahu betul sedalam apa arti buku usang itu baginya!
“KUPIKIR KALIAN SAHABAT TAPI AKU SALAH! AKU MEMBENCIMU LEBIH DARI AKU MEMBENCI BIBI LEE YANG MENCURI UANG KELUARGAKU! AKU MEMBENCIMU LEBIH DARI JIYEON DAN SUZY YANG MENGKHIANATIKU! KALIAN SEMUA SAMA, HANYA MEMBUTUHKAN UANGKU TAPI AKU MEMBENCIMU LEBIH DARI SIAPAPUN!!”
Suara rintik hujan dan nafas memburu dari dua manusia, tidak satu katapun yang terdengar hingga gesekan kasar sepatu boot dengan tanah yang berpijak cepat memberikan nuansa bising, disusul bayangan Luna yang menghilang di balik sebuah belokan.
Meninggalkan Jieun dengan tangan kecil yang terulur pada tanah dan rumput yang bercampur, meraih tiap helai kertas lalu mengumpulkannya, memeluknya seolah memeluk kedua orang tuanya yang telah di surga.
Air hangat yang melintasi pipi lalu jatuh mengikuti gravitasi, menjadikan tanah dan rumput basah sebagai saksi. Air mata yang terbiaskan oleh hujan, air mata yang tercerminkan dengan nafas tercekat dan suara tangis yang menyedihkan.
Dingin yang terbentuk dari tiap titik basah pada tubuhnya, mungkin demam tinggi akan menyambutnya saat esok tiba.
Esok yang tak lagi ingin ia temui, tak memiliki alasan untuk melanjutkannya, hidup sendirian, hidup tanpa siapapun atau apapun.
“Lee Jieun”
Sebuah suara lembut yang menyapa, titik air yang tak lagi menumbuknya. Secercah kehangatan saat sosok itu mendekat dan lagi, mengulurkan sebuah payung.
Jieun terdiam, mata kecil yang menangkap sedikit terang. Memilih untuk berdiri, menatap sosok itu lebih dekat.
Mata sabit dengan sorot mata tajam, rambut kecoklatan dengan aroma hujan yang menguar. Ia kuat setegar karang namun lembut, lebih lembut dari tetesan salju saat musim panas.
Mereka menyebutnya…Peri Hujan
“Lee Jieun”
Memanggil namanya, lagi.
Mereka terlihat sama, Jieun tak mampu memahami ini, Jinki dan peri hujan yang terlihat sama.
Jieun berhenti memikirkannya, ia hanya teringat sederet kalimat pada buku tua miliknya. Memutuskan untuk meraihnya, tangan besar yang menurutnya sedikit dingin namun lebih nyaman dari radiasi api di atas perapian.
“Jangan pergi”
Dia adalah ayah yang melindungimu, dia adalah ibu yang menghujanimu dengan kasih sayang, dia adalah teman yang paling setia.
Mereka menyebutnya…Peri Hujan.
.
.
.
Dan sesuatu menghisapnya, menarik jiwa dan memisahkannya dengan raga. Mata kecil yang menatapnya, tubuh mungil dengan kulit pucat, tanpa udara yang bersirkulasi ataupun darah yang mengalir.
Sebuah raga tanpa kehidupan.
Jieun terkejut, ia bergetar takut.
Itu…dirinya, tubuhnya.
Jadi ini yang disebut kematian?
“Lily”
Jieun menoleh cepat, ia melihatnya, lagi.
Rambut kecoklatan, kulit yang sangat pucat dan pakaian serba putih. Tak ada yang berbeda,Jieun yakin jika lelaki ini adalah peri hujan.
Peri hujan yang memanggilnya seperti yang dilakukan Jinki.
Merasakan nuansa hangat pada lehernya, mendorongnya mengarah pada seseorang.Jieun tercekat saat bibir apel di depannya mendekat dan menghilang seiring dengan jarak yang terhapus.
Mata sabit yang Jieun tangkap, awan putih yang sangat dekat dan kota Seoul tepat di bawahnya.
Sepasang sayap menahan keduanya, melayang diantara gumpalan awan.
Mereka berada sangat jauh dari dunia manusia.
“Jadilah lily putih yang merindukan hujan, jadilah bagian dari duniaku, Lee Jieun”
Seketika Jieun terperanjat, merasakan sesuatu yang aneh di dalam tubuhnya, sel-sel yang kembali hidup, dialiri nutrisi oleh darah yang jauh lebih segar dari biasanya.
Jieun berkeringat, mukanya memucat, ia menggigil kedinginan lalu…
BRUKK
Jatuh tepat pada sebuah bidang kokoh, Jieunterpejam kuat, ia seolah mati rasa, Jieun tak mampu menyadari saat sebuah lengan melingkarinya, lengan pucat yang kemudian terulur untuk meraih kepalanya, menyalurkan sesuatu yang mereka sebut kasih sayang.
“Lily, kau harus beradaptasi, bertahanlah”
Peri hujan adalah ‘yang sejak awal ditakdirkan’ atau ‘dengan sebuah mantra’
Jadilah bagian dari duniaku…
Mantra yang dirapalkan seseorang, seseorang yang para peri menyebutnya…pangeran Hujan…
Seseorang yang para peri menyebutnya…Pangeran Chase Putra Kerajaan Peri Hujan.
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar