Senin, 21 November 2016

Sumber : https://fanficskpopindo.wordpress.com/2015/02/03/freelance-oneshot-lost/



[ Freelance Oneshot ] LOST

Lost cover
Title ||   LOST
Author ||Trifa
Casts
SHINee’s Onew as Lee Jinki, 
SNSD’s Taeyeon as Lee Taeyeon (Jinki’s noona), 
and other  
Length ||Oneshot
Rating || PG-15
Genre || Family, Hurt/Comfort
Disclaimers
 Casts milik Tuhan dan mereka sendiri, ide cerita dan tulisan asli milik author

“Ribuan kata maafpun takkan bisa menebus dosaku padamu,
Maafkan aku…”

Yeoja itu merapatkan mantel marunnya. Angin malam di pertengahan musim dingin begitu menusuk kulitnya. Entah apa yang ia lakukan di tengah udara seperti ini. Hanya duduk di bangku panjang dengan segelas kopi di genggamannya. Terlihat kepulan asap dari kopi yang masih panas itu. Ia hanya menatap lurus ke depan dan sesekali menghela nafas. Memandangi sungai Sumida yang berkilau di hadapannya. Beberapa detik kemudian ia menundukkan kepala, memandangi sepatu boots coklatnya yang penuh salju dan meghentakkan kakinya untuk menghilangkan salju yang menempel. 
Taeyeon. Begitu perempuan itu disapa. Sudah satu minggu ia menjelajahi kota Tokyo untuk mencari adik laki-lakinya yang dua tahun lalu pergi ke sini untuk melanjutkan kuliah S2-nya. Bukankah aneh seorang kakak tidak mengetahui sama sekali keberadaan dan kondisi adiknya di luar negeri? Hingga ia harus bersusah payah mencarinya. Memang, sejak ibu mereka meninggal lima belas tahun yang lalu, Taeyeon menjadi benci pada adiknya karena menganggap peristiwa meninggalnya ibu mereka itu disebabkan oleh adiknya, Jinki. Saat itu Jinki yang berusia delapan tahun sedang bermain sepeda di jalanan komplek rumahnya. Tiba-tiba sebuah mobil sport melaju kencang ke arahnya. Ibu Jinki yang secara kebetulan baru saja pulang dari sebuah toko, melihat kejadian itu dan segera berlari kearah Jinki. Saat itu juga mobil tersebut menabrak ibunya hingga terpental beberapa meter dan akhirnya meninggal di tempat. Mulai saat itu ayah mereka terlihat sangat terpukul dan sakit-sakitan. Lalu, dua belas tahun kemudian ayah mereka meninggal karena serangan jantung dan mewariskan perusahaannya pada anak sulungnya yaitu Reina.
Taeyeon akhirnya memimpin perusahaan properti tersebut. Tentu Jinki pun sering membantunya karena ia kuliah di jurusan manajeman bisnis. Namun Taeyeon tidak mengindahkan bantuan adiknya itu, bahkan menganggap adiknya itu hanya mengganggu dan merepotkannya saja. Ia sering berpikir bahwa sebaiknya Jinki pergi dari kehidupannya dan jangan pernah berhubungan lagi dengannya.
Sampai suatu hari, Jinki mendapatkan beasiswa S2 di Jepang. Mendengar hal itu, Taeyeon menjadi semangat dan benar-benar menginginkan Jinki untuk pergi. Awalnya Jinki sangat bersemangat untuk mendapatkan beasiswa itu. Namun ia berpikir untuk tidak mengambilnya karena ia tidak mau meninggalkan kakaknya sendiri di Korea. Tetapi, Taeyeon terus memaksanya untuk pergi sampai akhirnya Jinki pun menurutinya dan pergi.
Satu setengah tahun pun berlalu. Kondisi perusahaan yang dipimpin Taeyeon semakin lama semakin memburuk. Pemasaran tidak berjalan dengan lancar, modal menipis, utang menumpuk dan banyak karyawan yang menuntut kenaikan gaji, membuatnya merasa terbebani dan depresi akan hal ini. Ia pun tersadar. Seandainya ada Jinki di sini, maka ia tak perlu memusingkan hal ini karena Jinki dapat membantu mengatasinya. Dari awal, sebenarnya ia tahu jika adiknya memiliki kemampuan untuk mengatur perusahaan dan dapat dipercaya. Namun rasa ketidaksukaannya pada Jinki telah membutakan hati dan pikirannya. Setelah lama berpikir, akhirnya ia memutuskan menemui Jinki di Jepang untuk memintanya membantu mengurus perusahaan dan menutup sementara perusahaan tersebut. Walaupun sebenarnya ia sangat malu jika harus bertemu dengan Jinki dan memohon kepadanya setelah apa yang ia perbuat pada adiknya itu bahkan secara tidak langsung telah mengusirnya pergi.
 “Permisi nona, bolehkah aku duduk di sini?” Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang baru saja datang dan berdiri di samping bangku. Taeyeon yang sedikit banyak mengerti bahasa Jepang hanya mengatakan “Iya” dan bergeser agar orang itu bisa duduk tanpa melihat wajahnya. Ia sibuk menatap layar poselnya untuk mengecek e-mail yang sempat ia lupakan tadi siang.
“Moshi-moshi, kutunggu kau di depan sungai Sumida, ne?” suara Itu membuat Taeyeon terperanjat. Suara lembut dengan intonasi jelas yang begitu ia kenal, membuatnya segera mengalihkan pandangannya untuk melihat orang yang sedang menelepon itu. Ia mematung. Matanya membulat, tangannya gemetar, membuat gelas kopi di tangannya terjatuh. 
Namja yang sedang menelepon itu sedikit mengerutkan dahi melihat tingkah aneh perempuan di sampingnya. Ia mengakhiri pembicaraannya di telepon dan mulai memerhatikan perempuan itu.
“Nona, kau kenapa?” tanyanya menyentuh bahu Taeyeon. Ia mendongakkan kepala dan membisu saat laki-laki itu menatapnya. Ia merasa jantungnya terhenti saat matanya bertemu dengan mata itu. Mata sabit bersudut tajam serta iris hitam yang menawan. Wajah adiknya tidak berubah sama sekali. Ia begitu ingin memanggilnya. Tetapi ia merasa aneh dan gugup. “Oh! Apakah nona orang Korea?” Tanya namja itu tiba-tiba saat tidak sengaja melihat layar ponsel yang dipegang Taeyeon penuh dengan tulisan hangeul. Perasaan Taeyeon terus berkecamuk. Antara terkejut, bingung dan takut. Bukankah sosok di sampingnya ini adalah Jinki adiknya? Tapi kenapa sekarang Jinki seperti tidak mengenalinya? Bahkan Jinki memanggilnya dengan sebutan ‘nona’. Atau pura-pura tidak kenal? Entahlah. Tapi ia sama sekali tidak menemukan kepura-puraan di mata Jinki. 
“I-iya aku dari Korea” Jawab Taeyeon sedikit terbata.
“Kalau begitu kita sama. Akupun dari Korea” Namja itu tersenyum ceria lalu melihat layar ponseln miliknya lagi.
Apakah selama 2 tahun ini Jinki telah benar-benar melupakannya karena perlakuannya terhadap Jinki? Apakah Jinki telah membencinya? Tubuh dan tangannya semakin gemetar karena kaget dan udara yang semakin dingin. Terlihat begitu jelas. Ingin rasanya mengucapkan sesuatu pada sosok laki-laki ini, tapi terasa begitu sulit. Semuanya terasa begitu aneh dan membingungkan. Ia merasa sangat bersalah dan menyesal. Dan ia hanya bisa merutuki dirinya sendiri dalam hati.
Tiba-tiba tangan besar itu meraih kedua tangan Taeyeon yang terkepal. Ia terperanjat kaget namun membiarkannya. Namja itu telah melepas sarung tangan yang ia pakai dan memasangkannya pada kedua tangan Taeyeon tanpa mengatakan apapun.
“Apa yang kau lakukan?” Tanyanya dengan suara sedikit gemetar. Dibalas dengan senyum ramah.
“Sepertinya nona kedinginan, sampai-sampai tubuh dan tanganmu gemetar” Namja itu memasangkan sarung tangannya perlahan. Sesekali memandang Taeyeon sambil tersenyum. Taeyeon hanya bisa memperhatikan. Senyuman itu, senyuman yang dulu selalu ia lihat dan selalu ia balas dengan palingan wajah. 
“Perkenalkan aku Jinki. Siapa namamu?” Ucapnya memberikan tangan kanannya pada Taeyeon setelah selesai memasangkan sarung tangan.  Benar. Jinki sudah tidak ingat lagi dengannya. 
“Aku Taeyeon” Jawabnya pelan. Ia merasakan hatinya teriris, begitu menyakitkan saat menyebutkan namanya. Mana mungkin ia harus memperkenalkan diri pada seseorang yang seharusnya mengenalnya. Kenapa ia menjadi orang asing bagi Jinki? Kenapa semua berubah begitu cepat? Sebenarnya apa yang terjadi?

Dua tahun yang lalu…
Jinki berjalan sedikit terhuyung keluar dari rumah sakit. Kepalanya terasa berputar. Ia tidak pernah menyangka hal ini akan terjadi. Selama satu jam ia menjalani serangkaian pemeriksaan. Pada pemeriksaan awal, ia diperintahkan untuk menghitung mundur dari angka 30, dan hasilnya beberapa angka terlewat bahkan terbalik. Saat dokter menempatkan beberapa benda di atas meja dan menyuruhnya untuk mengingat benda-benda itu selama beberapa detik, lalu semua benda ditutup dan ia harus mengucapkan nama benda-benda tersebut, namun ia tidak mengingat semuanya. Padahal jika dibayangkan, itu sangat mudah bukan? Dari kedua tes tersebut dokter memberikan pernyataan bahwa mungkin ia mengidap penyakit Alzheimer. Penyakit kepikunan. Memang beberapa bulan ini ia selalu melupakan sesuatu. Seperti lupa menaruh barang, tugas kuliahnya sering tertingggal, bahkan ia sempat lupa dengan nama beberapa barang. Tapi  bukankah hanya orangtua berusia lanjut saja yang bisa mengidap penyakit ini? Namun dokter telah menjelaskan bahawa Alzheimer dapat menyerang orang dewasa berusia 20-30 tahun, walaupun sangat langka sekali. Hal ini dapat terjadi karena orang tersebut mengalami stres berat atau tekanan. 
Sepuluh menit yang lalu ia telah memperoleh hasil laboratoriumnya dan merasa terkejut dan takut saat melihat hasilnya. Memang benar ia mengidap Alzheimer. Jinki merasa ketakutan. Bagaimana membicarakan ini pada Taeyeon, kakaknya? Jika Taeyeon tahu tentang penyakit yang dideritanya, pasti ia akan sedih. Walaupun Jinki merasakan sikap Taeyeon terhadapnya selama ini menunjukkan kebencian dan ketidakpedulian, tapi ia yakin bahwa sebenarnya Taeyeon sayang padanya, begitupun Jinki. Ia begitu menyayanginya, karena ia hanya memiliki Taeyeon di dunia ini. Lalu bagaimana dengan beasiswa ke luar negeri yang ia cita-citakan selama ini? Akan merepotkan jika ia harus sakit parah di negeri orang.
***

“Noona, sepertinya aku tidak jadi mengambil beasiswa itu” Ucap Jinki tiba-tiba di sela makan malamnya.
“Waeyo? Bukankah keberangkatanmu itu minggu depan? Dan kau sangat ingin bersekolah di sana kan?” Tanya Taeyeon terkejut, karena ia benar-benar menginginkan Jinki pergi.
“Eehhmm.. aku hanya tidak ingin meninggalkan noona sendiri di sini. Lebih baik aku membantu mengurus perusahaan saja” Jawab Jinki mencari alasan lain. Tidak mungkin ia mengatakan bahwa ia tidak bisa pergi karena sakit. Ini tidak sesederhana itu.
“Jadi maksudmu aku tidak bisa mengurus perusahaan sendiri, begitu?! Sudahlah lebih baik kau pergi saja!” Bentak Taeyeon yang selalu berburuk sangka lalu menghentikan makannya.
“Tapi, apa noona tidak apa-apa jika aku pergi?” Tanya Jinki pelan.
“Kau tahu kan, aku ini sudah dewasa. Lagipula semua ini salahmu. Seandainya eomma dan appa masih hidup, maka kita tidak perlu bersusah payah hidup berdua seperti ini!” Jelas Taeyeon dengan  penekanan pada kata eomma untuk menyindir Jinki. Jinki sudah terlalu lelah mendengar semua ini. Setiap kali kakaknya marah dan kesal, ia selalu mengeluh dan mengungkit kepergian orang tuanya. Dan akhirnya Jinki pun tidak dapat berbuat apa-apa.
“Baiklah, sesuai keinginan noona, aku akan mengambil beasiswa itu dan pergi ke Jepang. Mianhaeyo” Ucap Jinki pasrah. Ia hanya tidak mau membuat kakaknya menjadi semakin membencinya.
“Bukankah seharusnya begitu?” Timbal Taeyeon santai dan dengan sikap tak acuh pergi meninggalkan Jinki yang terdiam.
***

Hari ini adalah hari keberangkatan Jinki ke Tokyo. Ia akan bersekolah di Universitas Tokyo. Bersama seorang teman, ia sudah berada di Bandara Gimpo dan bersiap untuk berangkat. Namun ia merasa sedih dan gelisah karena kakaknya tidak mengantarkan kepergiannya. Ia sudah beberapa kali menelepon dan mengirim pesan, namun selalu tidak ada jawaban. Semalam pun, saat ia mengatakan mengenai keberangkatannya, kakaknya tidak mengatakan apa-apa dan malah sibuk dengan gadget-nya.
***
“Jinki, kenapa kau menaruh ponselmu di dalam lemari es?” Tanya Kibum sedikit tertawa saat akan mengambil beberapa potong biskuit.
“Jinjjayo? Aku rasa tadi tidak menyimpannya di situ” Jinki berjalan menghampiri Kibum dan meraih ponselnya. Sama seperti Jinki, Kibum adalah mahasiswa yang juga mendapatkan beasiswa sekaligus sahabatnya. Mereka telah bersahabat sejak di sekolah menengah.  Sudah tiga bulan mereka berdua tinggal satu kamar di asrama di Tokyo.
“Kau ini kenapa? Kau sering sekali lupa menaruh barang dan tidak ingat arah jalan, seperti orang pikun haha” Ledek Kibum tertawa.
“Memang” Jawab Jinki singkat dan dengan santai berjalan ke tempat duduknya dan kembali menatap layar laptopnya.
“Apa maksudmu? Hati-hati kalau bicara!”
“Benar, aku mengidap penyakit Alzheimer. Kau tahu bukan? Kepikunan” Jinki terlihat berusaha tenang dengan jari yang masih sibuk menari di atas keyboard.
“Apa kau bilang? Itu tidak mungkin. Kau jangan bercanda!” Ucap Kibum sambil mengunyah biskuitnya.
“Sungguh. Kau lihat sendiri kan buktinya”
“Tapi, bukankah Alzheimer hanya dialami oleh manula?” Kibum menegakkan tubuhnya dan sedikit terkejut. Jinki membalikkan badannya mengahadap temannya itu.
“Dalam beberapa kasus langka, Alzheimer dapat menyerang orang berusia 20-30 tahun, dan akulah salah satu dari orang itu. Aku juga sudah memeriksakannya ke dokter sebelum kita berangkat ke Jepang” Hening sejenak. Jinki yang berusaha tenang pun kini terlihat gelisah dengan semua yang dialaminya. Kibum yang menatap sedih Jinki, masih mencerna baik-baik pernyataan yang baru saja keluar dari mulut sahabatnya beberapa detik yang lalu. Sungguh sulit untuk mempercayai semua ini.
“Lalu, apakah kakakmu tahu hal ini?” Tanya Kibum pelan.
“Tidak, aku sengaja tidak memberitahunya. Aku tidak mau membuatnya sedih dan lebih membebani hidupnya. Sudah cukup aku membuatnya terpuruk karena harus kehilangan orangtua”
***
Satu tahun telah berlalu, Jinki semakin tersiksa dengan penyakitnya. Ia tidak bisa menjalani hari-harinya dengan baik dan lancar. Ia sering sulit mengfokuskan diri pada hal yang biasa ia lakukan dan mengalami disorientasi.
“Kudengar Alzheimer yang menyerang usia muda masih bisa disembuhkan. Jadi, lebih baik kau pergi ke dokter dan lakukanlah pengobatan” Saran Kibum saat melihat Jinki yang semakin gelisah.
“Apakah itu akan membuatku benar-benar sembuh?” Tanya Jinki ragu.
“Kita coba saja, sebelum semuanya terlambat. Semoga kau bisa sembuh dengan cepat” Ucap Kibum tersenyum sambil menepuk bahu Jinki.

“Kau bisa menjalani pengobatan dan pemeriksaan secara berkala, aku akan memberikan resep obatnya padamu” Suara dokter paruh baya itu mengisi seluruh ruangan bernuansa putih itu.
“Tapi, apakah ada efek samping dari pengobatan ini?” Tanya Jinki menatap dokter itu dengan serius.
“Akan ada efek samping yang sering terjadi, seperti mual, sakit kepala, dan nyeri sendi. Dan juga, dalam beberapa kasus, orang akan kehilangan sebagian ingatannya karena pengobatan yang tidak cocok. Namun hal ini jarang sekali terjadi. Kau tidak usah khawatir” Jelas dokter itu sambil tersenyum.
“Kalau begitu aku pergi, terimakasih banyak atas semuanya” Jinki beranjak dari kursinya dan segera membungkukkan badan sebagai tanda terimakasih.
Jink berjalan di koridor rumah sakit bersama Kibum. Ia menceritakan semua yang dokter ucapkan padanya.
“Seperti kata dokter itu, kau tidak perlu khawatir. Jika kau kehilangan sebagian ingatanmu, mungkin hanya ingatan kecil saja, dan aku akan membantumu untuk mengingatnya kembali” Tegas Kibum untuk menghiburnya. “Tapi, kali ini kau harus menelepon kakakmu dan memberitahukan semua ini” Ucapan Kibum yang tiba-tiba itu terdengar serius.
“Sudah kubilang kan, kalau aku tidak mau memberitahu kakakku. Lagipula aku akan sembuh. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi” Tegas Jinki sambil lalu cepat di depan Kibum. Kibum hanya menatap Jino yang sedikit menjauh. Ia berbicara seperti itu karena hanya ingin membuat kakak Jinki mengetahui kondisi adiknya dan memulai hubungan baik dengan Jinki.
Walaupun Jinki terus melarang, namun sejak saat itu Kibum terus mencoba menghubungi kakak Jinki dengan diam-diam meneleponnya melalui ponsel Jinki namun selalu tidak ada jawaban.
*
*
*

“Taeyeon? Nama yang bagus. Sepertinya nona lebih tua beberapa tahun dariku. Bolehkan aku memanggilmu noona?” Tanya Jinki pada Taeyeon dengan mata bebinar.
“Baiklah, itu terserah kau” Jawab Taeyeon dengan suara gemetar. Jinki tersenyum senang dan mengalihkan wajahnya menatap sungai. “Tapi, kenapa kau melakukan ini? Maksudku… kenapa kau mau memasangkan sarung tangan ini padaku?” Tanya Taeyeon memberanikan diri bertanya pada sosok yang begitu dikenalnya sekaligus terlihat asing itu. Jinki kembali menatap wajah Taeyeon.
“Karena Taeyeon noona seperti seseorang yang pernah aku kenal, tapi aku tidak tau siapa. Saat melihatmu kedinginan tadi, tiba-tiba saja tangan ini ingin berbuat sesuatu untuk menolong, seperti perintah yang tak terdengar namun harus tetap dilakukan” Ucap Jinki lembut. Mendengar perkataan itu, Taeyeon tak kuasa menahan kesedihan dan penyesalan dalam dirinya. Tanpa ia sadar, setetes air bening keluar begitu saja dari pelupuk matanya.
“Kalau begitu, terimakasih. Aku menjadi terharu mendengarnya” Ucap Taeyeon di tengah isakan yang ia tahan.
“Jinki-yaa!” Tiba-tiba terdengar teriakan seseorang memanggil Jinki. Mereka menoleh ke belakang dan terlihat sosok yeoja cantik yang tengah berdiri di ujung tangga jalan dan melambaikan tangannya.
“Nana-ya!” Balas Jinki segera berdiri. “Itu temanku, dan aku ada janji dengannya. Jadi aku harus pergi. Sampai jumpa! Semoga kita dapat bertemu lagi” Jinki membungkukkan badannya dan berlalu meninggalkan Taeyeon.
Taeyeon hanya bisa terpaku menatap punggung Jinki yang semakin menjauh. Apakah semuanya akan berakhir begitu saja seperti ini? Batinnya. Air matanya tak dapat terbendung lagi. Tangisannya pun semakin menjadi. Ia hanya bisa merutuki dan mencaci maki dirinya sendiri bersama air mata penyesalannya.
“Jinki, sebenarnya apa yang telah terjadi padamu?! Hiks… mianhae. Semua ini memang salahku. Ini adalah hukuman dari Tuhan untukku karena telah menyia-nyiakan sosok malaikat sepertimu. Aku bukanlah kakak yang baik, yang selalu melindungi dan menyayangi adiknya. Bodohnya aku yang telah memperlakukanmu dengan buruk selama ini. Hiks… sungguh, aku sangat menyesal. Aku memang orang yang bodoh, jahat, dan kejam yang tak pantas menjadi kakakmu. Aku memang lamban, dan aku baru menyadari bahwa kau adalah satu-satunya orang yang harus kulindungi dan kusayangi, karena kau adalah harta yang paling berharga bagiku…”
Mianhae…
Mianhae…
Jeongmal mianhae…
Ribuan kata maafpun takkan bisa menebus dosaku padamu…

The End.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar