Senin, 21 November 2016

Sumber : https://fanficskpopindo.wordpress.com/2015/01/31/unusual-couple/#more-7418


UNUSUAL COUPLE

UNUSUAL COUPLE
An Oneshoot
by Risuki-san
Cast : Lee Jinki (SHINee’s Onew) & Lee Jieun (IU) | Rating : Teenager | Genre : Romance | Length: Oneshoot | Disclaimer : FF abal ini asli buatan author | [A/N] : Another JiJi couple story XD
Ff ini sudah pernah di post di wp pribadiku :D
.
‘The more I know you, the more I’m similar to you’
-Lee Jinki-
.
Unusual Couple
Menulikan telinganya kala suara bising itu menyeruak ke seluruh ruangan, dahinya mengkerut karena kesal.
Memilih untuk bangun, menatap sumber suara, ada amarah yang berkobar disana, memutuskan untuk meraihnya dan…
BRAKK
Menyapa kesunyian…lagi, hanya kicauan burung yang dapat ia dengar, sangat menenangkan. Mengabaikan benda persegi yang teronggok mengenaskan di lantai.
“OPPA!! KAU MERUSAK JAMKU!!”
Mengabaikan teriakan gadis disampingnya, gadis dengan piyama pink lalu rambut berantakan dan muka bengkak khas bangun tidur.
Merasakan pukulan amat keras pada pantatnya, mungkin saat ini tangan putih itu sama merahnya dengan pantat Jinki.
Meringis kecil kala hawa panas mulai merambati permukaan telapaknya, ia sedang memukul tapi kenapa ia juga ikut kesakitan?
Deru nafasnya memburu, mata kecilnya mendelik, ingin membunuh lelaki itu saja jika tak mengingat statusnya.
“OPPA!! KAU GILA!! CEPAT BANGUN!! PERBAIKI JAMKU!!”
Emosinya menggebu, merasa kesal luar biasa pada Jinki yang selalu saja membuatnya marah, memilih untuk menyiksa lelaki itu. Memberinya bertubi-tubi memar, memukul, mencubit, menendang.
Jejak-jejak biru pada tubuhnya menimbulkan nyeri, membuatnya kesal, marah. Bagaimana bisa ada gadis yang se-liar itu?
“SETIDAKNYA BERSIKAPLAH LEMBUT SAAT HAMIL, LEE JIEUN!!”
.
.
.
Menatap ragu pada deretan makanan di depannya, sumpit yang ia genggam rasanya akan jatuh saja. Lelaki sabit itu lemas, tak berselera, tak ingin mencicipinya karena jelas ia tahu bagaimana rasanya.
Menyesalinya, kenapa ia disini dan terjebak bersamanya?
“Oppa, cepat dimakan”
Tak memiliki cukup energi meski hanya untuk berkata ‘Ya’. Memilih untuk berusaha menikmatinya, menikmati masakan yang gadis itu sebut sebagai sup.
Sup? Sekental ini?
Tidak pintar dalam belajar, tidak bisa masak, tidak mandiri, ceroboh, payah dalam segala hal,ya, dia Lee Jieun.
Memilih untuk menatap gadis di depannya, dengan pakaian khas bangun tidur, piyama pink dengan corak hello kitty, kekanakan.
Sekuat tenaga menelan makanan yang Jieun anggap sebagai ‘sup’, hampir saja bibir apel itu membuka, melontarkan jutaan komentar pedas untuknya tapi sesuatu menahannya.
“Jieun?”
Menghampiri gadis itu, tangan besarnya menunjuk pada sesuatu berwarna merah disana, pada baju Jieun.
“Jieun, kau…berdarah”
Ketakutan mulai merambati keduanya, darah, pada baju dan kaki Jieun? Mungkinkah?
.
.
.
“Ya?”
“Iya, nona Lee baik-baik saja”
“Lalu darah itu?”
.
.
.
Hanya melangkah mengikuti Jinki yang berjalan dengan tempo cepat, terlalu cepat.
Sekuat tenaga berusaha mengimbanginya, langkah Jinki yang terkesan tergesa lalu deru nafas yang berat dan memburu. Ya, Jinki sedang marah.
Lalu hanya Jinki yang boleh marah? Bagaimana dengan dirinya? Bukankah Jieun adalah yang paling dirugikan saat ini?
“Jieun, apa kau benar-benar tak punya otak?”
Ehh…
“Kau itu bodoh atau apa?!”
Bodoh? Tak punya otak? Haruskah Jinki mengatakannya?
 “KAU GILA KAU TAHU! KAU BODOH, CEROBOH, PAYAH, MEREPOTKAN, SANGAT MENGGANGGU!”
Lalu haruskah Jieun diam saja? Bahkan setelah jutaan umpatan kasar yang ia terima?
Demi apapun Jieun ingin membunuhnya!
Memilh untuk memukulnya, meninggalkan jejak merah lalu kulit yang mengelupas akibat cakarannya.
Jinki terluka, ia berdarah, ia kesakitan dan Jieun tak peduli.
.
.
.
“Baiklah, dimana kau memeriksakan diri? Rumah sakit mana? Kau ingat siapa dokternya?”
Memilih untuk berdamai, ya, mungkin ini memang bukan salah Jieun.
Dengan sangat jelas ia mengingatnya, mata kecil itu memerah dan basah lalu ekspresi putus asa kala mengucapkannya.
‘Oppa, aku…’
‘…’
‘Aku…ha-mil’
Nafas itu tercekat kala mengucapkannya, Jieun tak sanggup mengatakannya dan Jinki tahu itu.
Gadis itu takut, ia hanya gadis berusia sembilan belas tahun yang bahkan kadang mengompol karena menonton film misteri.
 ‘Oppa, kau akan bertanggungjawab?’
Bertanggungjawab dengan apa? Menikahinya?
Mereka sama-sama muda, Jinki hanya dua tahun lebih tua, lalu dengan apa mereka hidup setelah ini?
Hidupnya berakhir, hidup keduanya berakhir, mereka di buang, ya, mereka akan dibuang oleh orang tua.
‘Ya…kita akan menikah, tenanglah’
.
.
.
“KATAKAN PADAKU LEE JIEUN!! RUMAH SAKIT MANA??”
Berteriak tanpa bisa dikendalikan, lelaki itu marah kala Jieun hanya diam. Bibir mungil itu mengatup rapat, bahkan partikel-partikel udara takkan mampu menembusnya.
Hanya perlu mengatakannya, dimana ia memeriksakan diri, dimana gadis itu didiagnosa hamil?
“Oppa, kau pikir aku punya keberanian pergi ke rumah sakit?”
Ehh…
Benar juga, seluruh daratan Seoul juga tahu tentang fakta itu.
 “Kalau begitu dimana kau membeli testpack? Apotek mana? Kau mengeceknya berapa kali? Dua kali? Tiga kali? Sepuluh kali? Berapa kali?!”
Hanya mengedip pelan, Jieun kebingungan menjawab pertanyaan Jinki yang bertubi-tubi. Ia tak mengingatnya, pertanyaan apa saja yang lelaki itu ajukan.
Menjambak kepalanya kasar, Jinki sangat kesal!
Pertanyaannya tidak serumit benang kusut, tapi kenapa gadis itu kesulitan menjawabnya?
Menatap bibir mungil itu dengan tidak sabar, membuka sedikit dan Jinki, otaknya menerka-nerka, kalimat apa yang akan meluncur.
“Aku…Oppa, kau pikir apa yang akan orang pikirkan jika gadis seperti ku membeli testpack?”
.
.
.
Hanya menatap pantulan dirinya di cermin, ada sorot marah dimata sabitnya. Hidupnya hancur, masa mudanya hancur dan gadis itu pelakunya.
Dengan tiap tetes air mata gadis itu meluluhkannya, hanya berkata ‘Oppa, aku hamil’ Jinki menikahinya.
Ya, mereka melakukannya…saat mabuk.
Bukankah mereka saling mencintai? Lalu apa yang salah?
Gadis itu bodoh dan itu yang salah!
Berkata hamil hanya karena tak kunjung mendapat tamu bulanan?
Tanpa pemeriksaan di rumah sakit ataupun testpack?
Gadis itu gila!
Dapat ia rasakan rahangnya mengeras, lalu jejak pembuluh darah di lehernya, ia terlalu kesal saat ini.
“Kau terlalu lama mengenalnya hingga sekarang kau semakin mirip dengannya?”
Telapaknya mengepal, ingin memukul kaca di depannya.
“Ya, kau tertular kebodohannya hingga kau bisa dibodohinya”
Jinki mengenalnya bahkan segera setelah gadis itu melihat dunia untuk pertama kali.
Berapa usia Jieun?
Sembilan belas tahun? Maka selama itu pula Jinki mengenalnya.
Jinki mengenalnya terlalu lama, mereka saling mengenal terlalu lama, terlalu banyak waktu yang mereka lewatkan bersama.
.
.
.
Hanya menatap deretan makanan di depannya.
Sama sekali tak berselera untuk menyentuhnya, memilih untuk mendorong kasar kursinya, menimbulkan suara bising yang cukup mengganggu.
“Aku berangkat”
Memilih untuk melangkah, meninggalkan Jieun yang kini tengah menatapnya tajam, dapat ia dengar helaan nafas Jieun yang memburu.
Menoleh cepat kala suara pecahan gelas menyapa telinga, menatap tak percaya pada sosok Jieun dengan berbagai makanan yang tumpah dan pecahan peralatan makan disekitarnya.
Gadis itu yang melakukannya, menarik kain penutup meja hingga menimbulkan kekacauan sepagi ini.
Jinki mendesis marah, gadis itu bodoh dan sekarang tabiatnya buruk?
“Oppa, apa kau korban disini?”
“…”
“Bukankah aku sudah minta maaf? Aku bodoh, aku salah, aku mengakuinya!”
“…”
“Kita tidak diusir oleh orang tua, kau tetap menjalani hidup normal seperti sebelumnya, dan ternyata aku tidak hamil, lalu apa yang salah? Kenapa kau seperti ini?!”
Gadis itu tidak pandai memasak, ia mengakuinya. Tapi haruskah Jinki memperlakukannya seperti ini?
Tak menyentuh masakannnya bahkan setelah Jieun mengorbankan waktu tidur malam karena harus bangun lebih pagi?
“Jieun, kau pernah ke Nepal?”
“Jangan mengalihkan pembicaraan!“
“Kau tahu ada gunung tertinggi di dunia disana? Mount everest, kau tahu berapa tingginya?”
Berapa tingginya, haruskah Jieun peduli?
“Berapapun tinggi Mount everest, maka setinggi itulah rasa bosanku padamu”
.
.
.
Hanya menatap bosan pada gadis di depannya, mata kecil dengan kobaran api yang membara, ada sorot marah disana.
Mengucapkan jutaan umpatan yang ada di dunia untuk menggambarkannya, menggambarkan sosok mata sabit yang dulu dicintainya, dulu…ya dulu…
“Dia bilang dia bosan padaku!! Lalu hanya dia yang bosan begitu??”
Menghela nafas sombong lalu melanjutkan kalimatnya, mengabaikan ekspresi bosan sahabatnya yang sebenarnya cukup mengganggu.
“Setidaknya dia menjalani dua tahun tanpaku! Lalu aku! Bahkan segera setelah aku lahir aku harus melihatnya! Dia sombong, menyebalkan, maniak ayam, kau tahu betapa menjijikan saat dia makan ayam kan? Gila! Dia…”
Dan lagi, selalu seperti ini.
Mengeluhkan betapa ia membenci lelaki itu.
Berteriak dengan mulut yang penuh makanan, mengabaikan tiap pasang mata yang kini memperhatikannya.
Berteriak semakin keras kala ia mendengarnya, Jinki dengan  sahabatnya, melakukan hal yang sama.
“Kau tahu dia yang terburuk! Tidak pintar, selalu membuat masalah, tak bisa memasak, tak ada satu halpun yang dapat ia lakukan tanpaku! Selalu bergantung padaku!”
Hampir saja tangan kecil itu melayangkan kepalannya tepat pada kepala Jinki, namun…sebuah suara menahannya.
“Ya sudah bercerai saja”
Dua pasang mata itu menatap sahabatnya tajam, Jieun menatap Jiyeon dan Jinki menatap Minho, matanya mendelik seperti hampir keluar, berteriak sekerasnya hingga meninggalkan jejak nasi pada muka lawan bicaranya.
“KAU GILA!!”
Melangkah cepat, mengabaikan teriakan jijik dua manusia disana, Jiyeon dan Minho. Mengumpat sebanyak-banyaknya.
Yang benar saja, menjadi…memilih untuk menjambak kepalanya kasar. Menjadi…Mereka bahkan tak sanggup mengatakannya!
Menikah satu kali, itu harga mati!
.
.
.
Hanya makan malam dalam diam, hanya suara sendok dan garpu yang saling beradu yang dapat mereka dengar.
Tak ada satu hal pun yang dapat mereka bicarakan.
Bosan…
Mereka merasa bosan satu sama lain.
Kenapa harus terjebak dalam pernikahan dengannya? Bertetangga selama sembilan belas tahun, tak menemui gadis lain selain Jieun, tak menemui lelaki lain selain Jinki.
Hidup di dunia hanya mengenal cinta diantara mereka.
Mereka sama, cinta monyet, cinta pertama, bahkan cinta terakhir terpaksa harus satu sama lain. Jinki dengan Jieun, Jieun dengan Jinki.
Dan ini membosankan!
“Aku…”
Keduanya membuka suara, ada perasaan canggung melingkupi keduanya, memberikan isyarat pada Jieun untuk memulai.
“Aku akan mendaki gunung dengan Jiyeon, satu minggu”
Mendaki gunung?
Gadis manja sepertinya akan mendaki gunung? Jinki tersenyum sinis, memilih untuk tak peduli.
“Baguslah, aku juga akan pergi dengan Minho ke Jepang”
.
.
.
“Minho, ayo di Jepang lebih lama”
Ehh…
Menatap aneh ada Jinki, bukankah ia tak betah berlama-lama di tempat asing?
“Serius?”
Hanya pekerjaan, hanya pekerjaan yang mampu membawa lelaki itu hingga ke tempat yang jauh dari rumah.
Jinki lebih suka berada di rumah, bermalas-malasan tapi ini…apa hubungannya dengan Jieun sangat buruk?
“Minho, kau tahu tempat untuk melihat geisha?”
Minho menoleh cepat, menatap tak percaya pada Jinki yang tengah menatapnya dengan penuh antusias.
.
.
.
Menatap hamparan senja disana, tersenyum kecil kala melihatnya, warna jingga kesukaannya.
Merasakan lelah yang luar biasa, namun semua terbayar kala matahari itu tepat disana, hanya separuh dan terasa begitu dekat dengannya.
“Oppa, lihat itu!” berteriak lalu menoleh, memperlihatkan lekuk bibir yang terangkat keatas, ia tersenyum, tersenyum pada…
“Kau merindukannya?” ucap Jiyeon dengan sebuah senyum jahil.
Ingin menggoda sahabatnya, bukankah seharusnya Jieun mengelak? Berteriak tak terima tapi ini…
Ekspresi ini, ada raut sedih disana.
Jieun merasakannya, tiga hari tanpa lelaki itu, tiga hari dengan teman-temannya, ia bahagia, ia tersenyum tapi ia murung kala mengingatnya, mengingat jika Jinki berada jauh dari jangkauannya.
.
.
.
Ia berkata satu minggu, tapi ini bahkan baru empat hari tapi ia sudah seperti ini.
Merasakan kosong pada dadanya, ada yang hilang dan ia ingin mengambilnya kembali, menyimpannya.
Semakin sulit menahan senyumnya kala langkah itu membawanya semakin dekat, semakin dekat pada rumah dengan gaya minimalis, dengan rerumputan sebagai pagar, rerumputan yang mereka potong bersama. Indah, rumah impian keduanya.
“Oppa, Jinki oppa, aku…”
“…”
“Aku…menyukaimu, jadilah kekasihku…”
Jieun mendengarnya, Jinki dengan gadis lain tepat di depan rumah. Ia lemas, hanya empat hari dan Jinki sudah seperti ini?
Gadis itu menyukainya, lalu Jinki…
Memilih untuk menghapus air matanya kasar, ia takut, sangat takut jika Jinki berkata ‘Ya’. Jieun tidak siap untuk ditinggalkan, takkan pernah siap.
Memilih untuk mengangkat kepalanya, menatap Jinki yang berada jauh dari jangkauannya. Hanya berlari kecil maka Jinki tepat di depannya, namun Jieun terpaku di tempat.
Ia mendengarnya…
Dan Jinki melihatnya, Jieun tepat disana menatapnya dengan mata kecil yang memerah dan basah.
“Jieun…”
“Aku mendengarnya”
Sekuat tenaga mengucapkannya, ada nada bergetar disana.
Dapat ia tangkap Jinki dengan ekspresi khawatir, ekspresi favoritnya.
Jinki mengkhawatirkannya dan itu membuatnya bahagia.
“Jinki oppa sudah menikah, aku senang mendengarnya”
Ia tersenyum meski air bening itu terus menuruni pipinya, ia bahagia tapi kenapa ia ingin terus menangis?
Merasakan tumbukan ringan pada tubuhnya, lalu sentuhan lembut pada punggungnya, dapat ia rasakan betapa lembut tangan besar itu mengusap surai hitamnya.
“Kenapa pergi lama sekali?”
Menangis semakin menjadi karena…
‘Maaf, tapi aku sudah menikah dan…aku mencintainya’
…ini terlalu manis. Jinki sudah menikah dan Jinki mencintai istrinya, Jieun senang mendengarnya, terlalu senang hingga membuatnya tak dapat berhenti menangis.
Ingin melihatnya, melihat muka yang empat hari ini tak dapat ia jangkau namun selalu memenuhi pikirannya, muka dengan ekspresi bahagia dan bukannya tangis seperti saat ini.
Merindukan gadis itu seperti sebuah TNT, membuatnya ingin meledak kapan saja, ingin menenangkannya, tak ingin melihat tangisan itu lebih lama.
 “Di Jepang aku melihat begitu banyak geisha, mereka sangat cantik, tapi tak ada yang secantik istriku”
.
.
.
Partikel angin menumbuk permukaan kulitnya, memaksa sistem sarafnya bekerja, memberikan kesan dingin disana, membuatnya sedikit menggigil dan seharusnya otak miliknya bekerja, bekerja menuntun kaki mungil itu melangkah menuju rumah, tempat yang lebih hangat tapi tidak, ia tak melakukannya.
Hanya diam di tempat, seperti ada jutaan lem kuat menempeli kakinya, gadis itu tak dapat bergerak kemanapun.
Hanya menatap mata sabit di depannya yang mendekat dan hilang seiring dengan kesan hangat yang menyapa bibirnya.
Tak ada lagi air bening yang mendesak ingin keluar, tergantikan dengan jutaan molekul oksigen yang berlomba memasuki saluran nafasnya.
Tak banyak celah yang tersisa karena Jinki yang terus menghalaunya, menyentuh permukaan bibir Jieun, menyapunya perlahan.
Ada rasa ingin terus seperti ini, selamanya, tapi tidak, mereka membutuhkan satu sama lain tapi kebutuhan biologis selalu mengalahkan segalanya.
Jieun menjauh, menarik kepalanya cepat, tersenyum kecil kala melihatnya, mata sabit yang kini menatapnya sebal, Jinki kecewa.
“Oppa, sudah ya? Aku ingin tidur”
.
.
.
Jinki bergetar karena takut, ia tak tahu seberapa cepat jantungnya memompa, terlalu cepat hingga hanya terasa samar.
Ia melihatnya, Jieun dengan peluh yang terus membanjiri keningnya.
Gadis itu berteriak, mencengkram kuat tangan besar disampingnya, tak ada isakan namun air bening itu menetes di sudut mata kecilnya.
Jieun kesakitan, ia mendorong seiring dengan perintah dokter yang menanganinya.
Jinki disampingnya, merelakan tangan besarnya untuk pelampiasan calon ibu muda itu. Hanya luka cakaran yang ia terima, tidak sesakit yang harus dialami Jieun.
Merasakan tarikan kuat pada kerah bajunya, Jieun menariknya , mendekatkan kedua mata mereka, menatapnya, mengintimidasi lelaki itu.
Diantara nafas yang memburu Jieun mengucapkannya.
“Oppa, ini sakit kau tahu? Anak kedua kau yang harus mengandungnya!!”
Hanya anggukan patuh yang Jinki lakukan, tak menyadari jika ia tengah menjanjikan hal yang mustahil.
Ia terus mendorong, menuntun calon bayi mereka melihat dunia tapi ini sulit. Jieun telah melakukannya sejak beberapa jam lalu.
Nafasnya kadang tercekat karena tangis, sedangkan Jinki hanya mampu melihat tanpa bisa membantu.
“DOKTER LAKUKAN SESUATU!!”
Jinki panik, ia berteriak diantara teriakan Jieun. Tak peduli jika dokter yang ia teriaki adalah seniornya.
“Dokter Lee, kau bisa diam tidak?”
Jieun kesakitan, mana bisa Jinki diam?
.
.
.
Tak ada lagi teriakan yang menggema, tergantikan dengan tangis bayi, mengundang senyum dari seluruh pasang mata disana.
Muka itu masih pucat, masih ada jejak-jejak bening di sudut matanya. Menyentuh dahi Jieun yang basah, mengusapnya pelan.
“Terima kasih”
Mengucapkannya lalu melayangkan jutaan kecupan sayang untuk pasangannya.
Hanya memejamkan mata, merasakan tubuhnya lemas, energinya terkuras habis sebelum waktunya.
Mata itu membuka segera setelah ia merasakannya.
Rasa sakit yang sama kuatnya, mencengkram tangan besar Jinki…lagi.
Mereka melupakan satu hal.
 “OPPA, KAU MENGINGKARI JANJIMU!!”
Masih ada anak kedua  yang belum melihat dunia, mereka melupakannya…
Bahkan setelah sorak sorai yang mereka lakukan saat mengetahui jika mereka kembar, bahkan setelah dengan perdebatan sengit mereka berhasil menyiapkan dua nama, tapi sekarang mereka melupakannya?
END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar