I WISH I WERE…
I WISH, I WERE…
An Oneshoot
by Risuki-san
Cast : Lee Jinki (SHINee’s Onew) & Lee Jieun (IU) | Rating : General| Genre : Romance, married life | Length : Oneshoot | Disclaimer :FF abal ini asli buatan author | [A/N] :percakapan dengan cetak miring adalah percakapan dimasa lalu.
contoh : ‘Huwa!! Onew tampan sekaleeee!!’
Berarti itu ngomongnya dimasa lalu karena di masa sekarang…Onew itu…sangat amat terlalu tampan sekali XD
Ini ceritanya banyak flashback, jadi maaf kalo belibet, bikin pusing.
Semoga suka XD
.
‘Aku berharap aku adalah…dia’
-Lee Jieun-
.
I Wish, I Were…
Mata kecil itu terpejam damai, ia tersenyum bahkan saat terlelap. Mungkinkah ia malaikat?
Sepagi ini dan Jinki sudah terperosok jauh.
Menatap Jieun tanpa berkedip, tak mungkin sanggup jika harus menahan diri untuk tak melihatnya meski itu hanya satu detik.
“Jieun, selamat pagi”
Mengucapkannya lalu memberikan sesuatu yang tak pernah ia berikan sebelumnya.
Mengundang sebuah keterkejutan, Jieun hanya mampu mengedip lucu. Sangat canggung kala Jinki dengan senyum gigi kelincinya lalu menciumnya.
“Pergilah mandi, aku akan menyiapkan sarapan”
Seperti pagi-pagi sebelumnya, Jinki dengan celemek, sisa-sisa minyak dan sedikit teriakan saat minyak panas terpercik, lalu sebuah senyum yang Jieun tahu jika itu tulus mengisi paginya yang selalu sama dan menyenangkan.
.
.
.
Hanya menatap Jinki yang sedang sibuk, ingin membantu tapi tidak, Jinki takkan membiarkannya.
“Oppa, aku ingin belajar memasak”
“Tak perlu, aku bisa melakukannya untukmu”
Ia bukan bayi yang harus bergantung pada orang lain, tapi Jinki selalu membuatnya seperti itu. Membuat Jieun bergantung padanya.
Hanya mengernyit dahi, kenapa Jinki selalu melarangnya ini dan itu?
“Oppa, aku bosan dirumah”
“Kau ingin pergi? Aku akan meluangkan waktuku besok”
Jieun bukanlah seorang tuan putri di dalam istana tua, Jinki bukanlah penyihir jahat yang sedang mengurungnya. Mereka hanya dua manusia yang disatukan oleh sebuah benang tak kasat mata, diikat kuat oleh takdir, takdir yang menumbuhkan sesuatu yang melimpah di dalam hati Jieun, ya hanya Jieun, pada awalnya.
“Oppa, kita sudah menikah sejak kapan? Bagaimana awal kita bertemu?”
“Hmm…hampir satu tahun dan kita bertemu disekolah, aku mencintai adik kelasku lalu menikah dengannya”
Mengucapkannya dengan sebuah senyum, sebuah senyum yang sangat sulit untuk diukir, sesungguhnya.
Bukan satu tahun ataupun sebuah sekolah yang mempertemukan mereka. Lebih lama dari satu tahun hingga benih itu sempat tumbuh lalu Jinki membunuhnya. Juga bukan sekolah, tapi sebuah altar dan takdir yang menyiksanya, yang memaksa keduanya bertemu, saling terikat satu sama lain.
“Oppa, kau sangat baik, kenapa aku tak bisa mengingatmu?”
.
.
.
Memejamkan mata adalah hal yang tak ingin ia lakukan, perasaan itu, bayangan yang terus muncul, mencabiknya, ia kesakitan oleh sebuah luka tak kasat mata.
“Maaf…”
Mengucapkannya, selalu.
Tapi itu tak cukup, takkan pernah cukup.
Ia melukainya, menjadi pembunuh yang lebih kejam dari kawanan teroris.
Jinki merasa tak tenang, ia tak ingin terlelap karena bukan kegelapan yang akan menyambutnya, tapi Jinki, Jinki yang marah dan Jieun yang bergetar takut yang akan ia temukan.
“Oppa, tak bisa tidur lagi?”
Jinki melihatnya, ekspresi khawatir yang Jieun tunjukkan.
Merasakan lengan itu membelitnya, menyalurkan kehangatan yang ia rindukan. Kehangatan yang Jinki terima lalu ia tolak di masa lalu.
“Jieun, jangan pergi, jangan pernah”
Merapalkannya, kalimat yang telah terpahat rapi dihatinya.
.
.
.
‘Jihyun, kapan kau pulang?’
‘Aku…entahlah’
‘Saat kau diizinkan pulang, aku akan mengenalkanmu pada ibuku’
.
.
.
Warna jingga khas senja terpantul kuat pada bola matanya, matahari yang memancarkan cahaya fantastis memaksanya menyipit.
Takdir menuntunnya untuk menatap ciptaan Tuhan yang lainnya, selembut permen kapas namun tajam tepat menusuk dadanya, Jinki terkapar oleh senyumnya.
“Oppa, ini sangat indah, terima kasih”
Memancarkan senyumnya, lebih terang dari milik bulan yang redup. Jieun tersenyum tulus sedang Jinki hanya mampu menerimanya dengan lemas.
Lekukan yang sama persis, lekukan khas milik Jieun, milik Jieun yang sempat ia miliki lalu ia buang seperti barang tak berharga.
.
.
.
‘Jihyun, ayo menikah’
‘Tapi…’
‘Ayo menikah’
‘B-b-baiklah’
.
.
.
Ada sesuatu yang mengikatnya, sebuah tali yang melilitnya lebih kuat dari ular, lebih sesak dari bernafas bersama kepulan asap saat kebakaran.
Matanya terasa basah, limpahan air bening disudut mata berebut untuk terbebas.
Ia menangis, tanpa Jieun.
Hanya sebingkai foto, dua gadis dengan selukis senyum.
“Jihyun, maaf, aku melukainya…”
Mengeluarkannya, semua air yang berdesakan. Kulit mukanya memerah tapi ini lebih baik. Berusaha menyudahinya, air mata yang tumpah tanpa bisa dikendalikan.
Tak bisa lupa, ia tak bisa melupakannya.
‘Jihyun? Surga?’
‘Oppa, aku-‘
‘JELASKAN!’
Jieun dengan terbata ia mengakuinya, Jihyun yang ia temui di rumah sakit, Jihyun yang ia kira hanya sakit ringan, Jihyun saudara kembar Jieun, Jihyun yang ia kira ia nikahi.
Tidak, Jinki tak pernah menikah dengannya.
Jihyun yang ia cintai tak pernah bersanding dengannya, gadis itu telah mengucapkan perpisahan dengan dunia sejak lama.
Jieun datang dengan gaun milik saudara kembarnya, tersenyum seolah tak pernah ada Jihyun dalam hidupnya.
Ia ingin berubah, bekerja tanpa ampun, tak ada istirahat ataupun makanan yang layak untuknya, ia ingin bahagia dan Jihyun memberinya jalan.
‘Jieun, menikahlah dengannya, hiduplah bahagia’
.
.
.
Langit tak lagi terang, lampu-lampu redup di tepi jalan mulai berpendar, terus berjalan diantara sesaknya jalan, telapak disana mulai mendingin dan kaku.
Jinki menggenggamnya kuat, tidak satupun partikel udara mampu menembus tautan yang ia buat, menyalurkan kehangatan meski sebesar kepalan tangan.
“Jieun, kau kedinginan?”
Memeluknya, lebih kuat dari cengkraman hewan buas pada mangsanya, namun lebih hangat dan nyaman dari api unggun saat perkemahan.
Menyesalinya, menangisi Jieun yang terlelap lama di atas ranjang, lalu bangun dari koma dan melupakannya.
“Jieun, aku mencintaimu”
Mengucapkannya dengan benar, ya Jieun dan bukannya Jihyun.
.
.
.
Jinki telah melakukannya, mencegah ingatan itu datang kembali, merenggut Jieun darinya. Tapi kenapa takdir menentangnya? Jinki berubah, ia berjanji akan berubah, tapi kenapa takdir tak mempercayainya?
.
.
.
“A-ku…aku akan pergi”
Jinki menggeleng kuat, Jieun pergi, ia ingin menahannya tapi sorot mata itu, sorot mata yang sama sebelum sebuah kecelakaan merenggut paksa ingatannya.
Bergerak cepat, gelisah, Jieun ketakutan dan itu melukainya.
Jieun hanya gadis lemah, sedikit paksaan akan membawanya kembali, tapi tidak, Jinki tak melakukannya.
.
.
.
Langit menggelap namun tak segelap hatinya, hati yang telah menghitam, mengeras, lebih keras dari karang namun merapuh saat ombak kecil menendangnya, terus menerus.
Jihyun meninggalkannya, kanker darah yang membunuh gadis itu tapi Jinki terus menyalahkannya.
‘Oppa, maaf…’
‘KAU PENJAHAT!’
‘Jihyun sakit, apa itu salahku?’
‘KAU SAUDARA KEMBARNYA TAPI KENAPA IA SAKIT TAPI KAU TIDAK?! KENAPA HANYA JIHYUN YANG MENDERITA TAPI KAU TIDAK?!’
Hanya kilatan amarah yang ia tunjukkan dan Jinki ingin menghapusnya. Mengatakan semua hal indah yang ia lalui selama setahun sebelum kebenaran itu terungkap, setahun yang selalu membuatnya meledak karena bahagia. Satu tahun memanggilnya Jihyun, mencintai seseorang yang ia kira Jihyun.
Membenci Jieun lebih dari siapapun, tapi memilih bertahan bersamanya. Tidak ada perceraian karena ada calon penerus Lee Corp yang harus ia pertahankan.
Berfikir semuanya akan mudah, tapi tidak, Jinki tak tahan jika harus melakukannya, melihat senyumnya, mendengar suaranya.
.
.
.
‘Aku sangat membencinya’
‘Haruskah kau melakukannya?’
‘Aku tak sudi menjadi ayah dari anaknya!’
.
.
.
Jemari besar Jinki merasakannya, butiran lembut salju, dingin, dan Jieun tak suka dingin. Gadis itu membutuhkannya, seseorang yang mengulurkan kehangatan.
Jinki khawatir, apa Jieun baik-baik saja? Ia sendirian, tak memiliki siapapun untuk berkeluh kesah.
Hanya Jinki yang ia miliki…
Menggenggam telapaknya, menyentuh pipinya yang memerah setelah menciptakan sedikit kehangatan melalui gosokan tangan, memeluknya, membisikkan kata-kata sayang, menyanyikan sebuah lagu lalu mengantarnya pada dunia mimpi. Tak ada yang melakukan itu untuknya, hanya Jinki, karena selalu Jinki yang ia miliki.
Dan selalu Jinki yang melukainya, menggores luka yang sangat dalam dengan pisau yang berkarat.
‘Aku memberikan obat pada makanannya agar ia keguguran’
Tak ada amarah yang gadis itu ucapkan, pergi begitu saja, hanya mengatakan ‘aku akan pergi’ lalu Jinki menahannya, melihatnya, mendengarnya, Jieun yang ketakutan di dekatnya.
‘Kau membunuhnya, kenapa? Dia anakmu, kenapa melakukannya?’
.
.
.
Jinki tidak baik-baik saja, ia sakit segera setelah Jieun pergi.
Ia terluka saat belahan jiwanya pergi.
Merutukinya, menjadi manusia paling tidak tahu diri di dunia, kau menyakitinya , lalu menipunya dan sekarang kau ingin dia kembali?
Berjalan pelan diantara hembusan angin musim dingin, lembutnya salju berinteraksi lama dengan mantelnya, menciptakan lembab, Jinki kedinginan.
“Jieun, apa kau baik-baik saja?”
Bicara pada langit, memandangnya, bintang yang tak seterang senyum milik Jieun. Ia mengingatnya, sesuatu yang lebih terang dari matahari di musim panas, lebih hangat dari radiasi api di perapian, lebih lembut dari salju yang tak terasa meleleh diatas pori-pori kulit manusia.
Satu musim ia melewatkannya, ia merindukannya tapi…
“Jieun?”
Ia melihatnya…
Berlari, lebih cepat dari sinar matahari.
Mendorongnya, menyentuh aspal dengan Jieun diatasnya, terpejam kuat.
“Jieun, kau baik-baik saja?”
Bertanya padanya, dia yang terkejut lalu memasang sebuah ekspresi yang ia rindukan, sangat.
“Op-pa…kau berdarah”
…ekspresi khawatirnya.
.
.
.
Tali yang membelitnya seketika hilang, memberikan ruang yang lebih rasional untuk ia bernafas, menyalurkan oksigen diantara sel-sel yang sempat kelaparan.
Ia sesak, tak ingin bernafas saat Jieun tak lagi disisinya.
Tapi tidak…
Jieun disisinya, menatapnya dengan khawatir, diam, menurutinya, tak berontak saat Jinki memeluknya tanpa ampun.
“Jieun, aku mencarimu”
“…”
“Kembalilah, kumohon”
Dan gerakan pelan itu telak membunuhnya, Jieun menggeleng.
“Oppa, kau harus diobati”
Tidak, bukan obat yang ia butuhkan, ia butuh Jieun yang memberinya seribu satu alasan kenapa ia harus bangun, membuka mata, menyongsong hari esok.
“Apa yang harus aku lakukan?”
“…“
“Haruskah aku mati?”
Gadis itu diam, Jinki pun diam, menunggu. Benarkah kematian yang Jieun inginkan?
Jieun mengingatnya, Jinki yang membunuh calon malaikat kecilnya. Hati yang mengeras, lebih keras dari berlian, mata sabit yang menjadi buta, dibutakan amarah. Hanya hal buruk yang dapat ia ingat, ia yang selalu buruk dimata sabitnya.
“Kenapa aku harus kembali? Kau yakin ingin tinggal dengan penjahat?”
“Aku…”
“Apa hanya Jihyun yang menderita? Lalu bagaimana denganku? aku bangun mendahului ayam yang berkokok, bekerja saat teman-temanku belajar maupun terlelap. Aku bodoh, tak bisa memasak karena aku tak memiliki waktu untuk mempelajarinya. Aku seorang pekerja saat seragamku berkata aku seorang siswa. Aku tak mampu memberinya perawatan yang layak hingga Jihyun harus menutup buku hidupnya, ya, aku memang jahat!”
Jieun mengatakannya, beban yang ia tanggung sendiri, keluh kesah yang ia tahan selama bertahun-tahun.
“Kenapa harus Jihyun yang sakit? Kenapa bukan aku? Kenapa aku harus hidup jika Tuhan membuatmu hanya mencintainya?”
Bertanya, entah pada siapa, menangis, menangisi hidupnya yang tak pernah lurus dan mudah.
Jinki memeluknya, pelukan yang ia rindukan, membisikkannya kalimat indah yang selalu ia dengar, saat kata ‘Jihyun’ mengawalinya.
“Jieun, aku mencintaimu”
.
.
.
Tak ingin terpejam, tak ingin berpaling, bahkan untuk berkedip sesaat, Jinki bertekad takkan melakukannya.
Menggenggamnya erat, takkan melepasnya, lagi.
“Oppa, tidurlah”
Jinki mendengarnya, suara yang lebih merdu dari nyanyian burung saat pagi, suara kecil yang kalah jauh dari teriakan yang dulu sering ia lakukan.
“Apa saat aku tidur, kau akan pergi?”
“Tidak”
“Saat aku terbangun, aku akan melihatmu?
“Iya, tapi…”
Jinki siap untuk segala syarat yang Jieun ajukan, katakan apapun, kecuali meminta pergi darinya.
“Oppa, apa aku tak boleh ke kamar mandi?”
“Ehh?”
“Aku harus ke kamar mandi!”
“Sekarang? Pergilah, tapi aku ikut”
Dan gigi kelinci yang ia rindukan menyapa, mengucapkan selamat tinggal pada sepasang mata sabit kala tulang pipi itu naik, melukis segaris senyum.
.
.
.
Hati yang mengeras menjadi rapuh, hancur berkeping -seharusnya- namun takdir berkata hati itu masih utuh, bersatu dengan kawan yang lain.
Tali itu tak lagi menyiksanya, meninggalkan satu benang tipis namun lebih tegar dari terumbu karang, benang tak kasat mata yang mengaitkannya, mereka berdua.
Hanya tawa dan jutaan kupu yang beterbangan, memenuhinya, menimbulkan rasa ingin meledak, ledakan yang lebih dahsyat dari bom atom saat perang dunia.
Mereka bahagia…lebih dari siapapun.
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar