A Girl Like You
A GIRL LIKE YOU
An Oneshoot
by Risuki-san
Cast : Lee Jinki (SHINee’s Onew) & Lee Jieun (IU) | Rating : Teenager | Genre : Romance | Length: Oneshoot | Disclaimer : FF abal ini asli buatan author | [A/N] : FF ini pernah di publish disini
.
A Girl Like You
Berjalan dengan kaki yang terseok, ada bekas merah disana. Bukan hal baru bagi mereka, tak ada rasa sakit yang begitu menyiksa karena terlalu sering menerima hukuman semacam itu.
Tak ada perasaan tak ingin mengalaminya lagi karena…mereka senang melakukannya, mengganggu siswa lain, mereka senang melakukannya.
Lima siswa dengan kepribadian yang hampir sama, tak ada nama spesial yang khusus mereka ciptakan untuk persahabatan mereka tapi…setiap siswa disana tahu, siapa mereka, bagaimana mereka…
“APA YANG KAU LAKUKAN DISINI?! SEMUA ORANG JUGA TAHU INI TEMPAT KAMI!!”
Berteriak lalu menggebrak meja, menambah suasana riuh kantin Kirin High School. Mendudukkan tubuh disana, sebuah meja dan bangku panjang yang mereka anggap milik mereka.
Lee Jieun…
Satu titik diantara lima titik yang saling bergandengan membentuk sebuah lingkaran, lingkaran yang tentunya tak memiliki ujung.
Mereka menyebutnya…lingkaran persahabatan.
Hanya ikut tersenyum kala mulut-mulut yang penuh makanan itu melontarkan berbagai candaan. Hingga sebuah suara menarik perhatiannya…
“JINKI!! DISINI!!”
“…”
“HEI!! MURID TELADAN LEE JINKI!! DISINI!!”
Mencari sekeliling, sedikit sulit menemukannya, merasakan ribuan kupu-kupu memenuhi perutnya, ini…jadi seperti ini rasanya jatuh cinta?
Muka imut itu sedikit tertekuk, sedikit perasaan tak nyaman merasukinya kala sosok tinggi itu tak lagi berada dalam jarak pandangnya.
“Eumm, aku ke kamar mandi sebentar”
Memilih untuk mengenyahkannya, menemuinya, menemui Jinki, Jinki yang selalu memberinya seribu satu alasan, kenapa ia harus berangkat sekolah.
.
.
.
Mengejar lelaki itu, meraih tangan kekarnya, putih dan lembut. Tersenyum senang pada sosok Jinki yang kini menatapnya aneh.
“Ahh, aku malas bertemu denganmu”
Melepas genggaman itu, lalu melangkah menjauh, ingin melanjutkan langkah menuju kelas tapi sebuah suara halus seolah menahannya.
“Di mulut bilangnya malas tapi aku tahu dalam hati sunbae sedang tersenyum”
EHH
“Apa? Apa aku salah?”
Memutuskan untuk mendekat, mendorong bahu itu pelan, memposisikan gadis itu hingga terperangkap diantara tubuh kekarnya dan dinginnya dinding sekolah.
Mengarahkan jari-jarinya pada sesuatu berwarna pink disana…menarik bibir mungil itu hingga mata kecil Jieun membulat karena terkejut.
“Jaga mulutmu, kau pikir otakku sama kosongnya denganmu!”
Mengerucutkan bibirnya karena…ini tidak sakit tapi…menarik bibir mungilnya selama beberapa detik, bukankah itu sebuah pelecehan?
Ingin mengumpat sebanyak-banyaknya tapi…suara bass itu menahannya.
“Kau sudah mengerjakan tugasmu untuk besok?”
Tak ingin menjawab karena…ini…pertanyaan paling sulit dalam hidupnya, lebih sulit dari soal ujian fisika dari guru Park.
Ia belum mengerjakannya dan…tak memiliki niatan sedikitpun untuk mengerjakan tumpukan tugas itu.
Seolah dapat membaca pikiran Jieun, Jinki, ia mengatakannya.
“Aku akan membantumu mengerjakan, sepulang sekolah temui aku di perpustakaan! Ini perintah!”
.
.
.
Memasang ekspresi sebiasa mungkin, meraih tas punggung ringan yang siap ia bawa kapan saja. Memilih untuk mengemasi segala barang-barangnya bahkan sebelum guru Song mengakhiri kelas.
Melangkah cepat namun…
“Jieun, mau kemana?”
EHH…
“Kau lupa? Hari ini kita akan ke rumah Jiyeon”
Melakukan rutinitas itu selama hampir sepuluh tahun, bermain ke rumah salah satu dari mereka, melakukan apapun yang biasa para gadis lakukan. Hanya untuk hari ini, Jieun, ia tak ingin pergi. Tapi…bagaimana caranya?
“Eumm, itu…hari ini aku harus mengantar ibuku”
“Ibumu tidak bekerja hari ini?”
EHH
Hal sepenting itu, bagaimana bisa ia lupa?
“Itu…hari ini ibuku libur, karena itu aku harus menema…” memaksa otaknya sekeras mungkin untuk membuat alasan, pelipisnya berkeringat dingin, ini jauh menakutkan dari memasuki wahana misteri!
Tak lama lima sahabat itu berkerumun, menginterogasi Jieun yang terlihat mencurigakan.
“Sejak kapan kau melakukan hal seperti itu??” sebuah suara dengan nada sarkatis, sang pemilik menatap Jieun dengan tatapan penuh curiga.
Berjanji akan selamanya menjadi sahabat, hanya bersenang-senang, tak ada jadwal untuk berbakti pada orang tua, tak memenuhi kewajiban sebagai siswa. Hanya memenuhi apa yang mereka inginkan, tak ingin belajar hanya bersenang-senang.
“Apa kau sedang jatuh cinta?”
.
.
.
Tersenyum kecil kala empat sosok itu tengah menyemangatinya, merasa menjadi gadis paling beruntung di dunia. Memiliki keluarga utuh yang harmonis, sahabat yang menyayanginya lalu…
“Sunbae”
“Kau terlambat sepuluh menit!!” berbicara tegas dengan menarik telinga gadis itu, membuat sang pemilik memekik karena kesakitan.
.
.
.
Suasana perpustakaan yang sepi, tak ada satu hal pun yang dapat dilakukan selain belajar, sama sekali tidak menyenangkan, ini bahkan sangat membosankan!
Hanya mencorat-coret bukunya, tak tahu harus melakukan apa, soal-soal itu, Jieun, ia tak tahu bagaimana mengerjakannya.
“Bahkan soal semudah ini kau tak bisa?”
Hanya mampu menghela nafas, menatap prihatin pada Jieun yang masih saja memasang ekspresi tanpa dosa.
Memilih untuk menjelaskannya, kedua kali, ketiga kali, keempat kali dan Jieun…ia masih belum mengerti.
Membuang bolpoinnya kasar, kesabarannya habis, ini bahkan jauh lebih sulit dari mengajari seorang anak TK? Sebeneranya sekecil apa otaknya?
“Arghh!! Kenapa kau bodoh sekali??”
“Aku tidak bodoh!”
“Lalu apa namanya? Berkali-ka-“
“Malas adalah pilihan dan aku memilihnya, aku hanya malas!”
“Kau bahkan sedang belajar, tapi kau tak mengerti juga! Kau bodoh dan malas!”
“Aku tidak bodoh!!”
Bertengkar dengan suara yang tak begitu nyaring namun…nyatanya itu cukup mengganggu.
“KALIAN TIDAK BODOH ATAUPUN MALAS, TAPI KALIAN BERISIK!!” sebuah teriakan dan tarikan kuat hingga dua siswa itu berada disana, tepat di depan pintu perpustakaan.
BLAMM
Terkejut kala pintu itu tertutup kuat, ingin marah, tapi ini salahnya juga. Memilih untuk menyalahkan gadis itu, menatapnya sarkatis.
“INI SALAHMU!!”
Dan…
BRUGHH
Dua tas punggung tepat menyapa permukaan kulit mukanya, tak menghilangkan sedikitpun kadar ketampanannya tapi…bukankah itu tadi sebuah penghinaan?
Menatap sebal pada pelaku, seorang wanita paruh baya, penjaga perpustakaan, ingin mengucapkan jutaan umpatan tapi…ia harus menahan diri.
Perpustakaan adalah surga, akan lebih baik jika ia tak mencari masalah, iya kan?
.
.
.
Menggenggam bungkusan pink itu erat, menatapnya dengan penuh arti, senyum itu merekah kala mata kecilnya menangkap sosok Jinki disana, duduk sendiri di sebuah bangku, mengerjakan sesuatu yang entahlah…pasti ia sedang belajar.
“Sunbaenim”
“Aishh, kau lagi, aku malas bertemu denganmu”
Hanya tersenyum menanggapi kalimat Jinki yang selalu sama, seolah tak mengharapkan kehadirannya tapi di sisi lain Jieun, ia tahu, ada sedikit senyum di sudut bibir apel Jinki, kala ia datang.
“TADA!! SELAMAT ULANG TAHUN!!”
EHH
“Bagaimana kau tahu??”
“Apapun tentang Jinki Sunbae, aku pasti tahu”
Menatap penuh antusias kala tangan kekar Jinki membukanya, ada kerutan di dahi lelaki itu, merasa bingung, ini jelas cokelat, tapi ada apa dengan bentuknya?
“Itu bentuk hati”
Berbicara dengan kedua mata yang berbinar, berbeda jauh dengan Jinki yang kini menatapnya prihatin. Gadis itu bodoh dan tak bisa memasak? Tak ada satu hal pun yang dapat dibanggakan yang memberinya alasan, kenapa ia harus menyukai gadis itu.
“Sunbaenim, aku kembali ke kelas ya”
Hanya menatap punggung sempit Jieun, lalu rambut sebahu yang bergerak karena angin. Tersenyum kecil, menatap cokelat-cokelat dengan bentuk yang tidak jelas, memilih untuk menutupnya, hanya mencicipinya, tak berniat untuk menghabiskannya karena…
Cokelat paling berharga di dunia, ia ingin menyimpannya saja.
.
.
.
Menatap pantulan dirinya di cermin, dress selutut dengan sebuah cardigan tersampir nyaman di bahu mungilnya.
“Apa begini saja sudah cukup?”
Memilih untuk bertanya pada empat sosok sahabatnya yang kini mulai menatapnya frustasi.
“Sangat cantik, sudah berangkat sana” memilih untuk mengusir gadis itu saja karena Jieun yang terus saja khawatir, itu mulai mengganggu.
Menghabiskan waktu beberapa jam hanya untuk memilih baju, ingin menjadi gadis paling cantik di dunia untuk hari ini membuatnya selalu khawatir, apa baju ini bagus? Apa baju itu cocok? Baju itu terlalu kuno? Dan berbagai kekhawatiran lain.
Tak ingin merusak hari paling spesial dalam hidupnya, hari dimana Jinki mengajaknya keluar bersama, hari yang akan selalu ia ingat selamanya.
.
.
.
Hanya menatap hamparan langit yang mulai menggelap, menengadahkan telapaknya, merasakan butiran air menyapa permukaan kulitnya.
Hanya sebuah gerimis…pada awalnya yang kini menjelma menjadi hujan yang sukses membasahkan seluruh daratan Seoul.
“Kenapa jadi hujan begini?”
“Kenapa? Aku suka hujan”
Memilih untuk menatapnya, menatap mata kecil Jieun yang begitu berbinar kala mengucapkannya.
Menatap betapa antusias ekspresi gadis itu kala menceritakannya, bercerita bagaimana ia begitu beruntung memiliki sahabat seperti mereka.
“Sejak kecil kami selalu bermain hujan, bahkan sampai sekarang kami masih melakukannya”
“Kekanakan”
“Ya, dan Sunbae menyukai gadis kekanakan ini kan?”
“Ishh, kau terlalu percaya diri”
“Benarkah? Jadi perkiraanku salah?” bertanya lalu menatap mata sabit itu, mengintimidasinya dengan sebuah tatapan tanpa dosa.
“Itu..aku..”
Tak tahu harus menjawab apa, Jinki menyukainya? Gadis bodoh dan tak bisa memasak itu? benarkah?
Merasakan debaran jantungnya yang semakin tak teratur, mata sabitnya masih segaris meski kini ia sangat terkejut.
Memilih untuk berlari, menghampiri Jieun yang entah sejak kapan disana, di tengah hujan meraih seekor anjing lalu menyerahkannya pada sosok lain yang mungkin pemiliknya.
“Apa yang kau lakukan?!” bertanya lalu menarik gadis itu kembali berteduh.
“Itu..”
Tak mampu menyelesaikan kalimatnya karena…dunia terasa berhenti.
Merasakan kehangatan diantara dinginnya rintik hujan yang terpercik, mendengar debaran Jinki yang tak teratur, mendengar suara bass itu mengucapkan…
“Menyebalkan!! Kenapa kau selalu membuatku khawatir!!”
“Sunbae…”
“Ya! Aku menyukaimu! Tapi aku menolaknya! Aku tak mau menyukai gadis bodoh sepertimu!”
.
.
.
Hanya menatap aneh pada gadis di depannya, menggelengkan kepala heran, bagaimana bisa ada orang seperti Jieun, melahap es krim hingga seluruh mukanya seperti itu.
Bahkan di cuaca seperti ini, bahkan disaat pakaiannya sedikit lembab karena hujan…
Sedikit mundur ke belakang kala mata kecil itu menyipit dan…
Merasakan beberapa krim lembut menyentuh permukaan kulit mukanya, lalu tawa renyah itu, tak merasa bersalahkah?
“LEE JIEUN BERSIHKAN!!”
Berteriak sekencangnya, mengabaikan Jieun yang terkejut setelahnya, mendesis marah karena…bukankah ini menjijikkan? Sebutkan siapa gadis di dunia yang akan bersin dengan cara yang sekotor itu!
Merasakan jemari putih itu menyentuh permukaan kulitnya, membersihkan tiap krim lembut disana, memilih untuk menahannya, menahan tangan putih itu.
“Gunakan apapun kecuali tanganmu, aishhh, ini tidak higienis!!”
Hanya menatap Jinki yang berlarian menuju kamar mandi, tersenyum kecil, tak dapat mempercayai apa yang baru saja terjadi. Memilih untuk melanjutkan aktivitasnya, melahap es krim rasa pisang kesukaannya.
.
.
.
Merasakan seluruh otot kakinya lelah, lalu tatapan senang dari puluhan pasang mata disana, ini sangat menyebalkan.
“Jieun, lanjutkan ceritamu”
“Iya jadi…”
Melanjutkan cerita yang sempat tertunda, cerita kencan pertamanya, cerita betapa lucu lelaki dengan mata sabit itu, betapa menggemaskan Jinki saat marah, betapa ia berbunga kala lelaki itu mengakui perasaannya.
Tak peduli jika cerita seru itu mungkin akan terpotong lagi saat Guru Park mendengarnya.
“Jadi kalian..itu? apa? Apa namanya?”
“Itu…apa ya, aku lupa”
Mencari kata yang pas untuk menggambarkan hubungan Jieun dan Jinki, dahi lima sahabat itu mengkerut memikirkannya hingga satu kata memecahkan masalah mereka.
“Maksud kalian pacaran?”
“IYA! ITU!!
Menoleh cepat pada sumber suara, ingin berterima kasih dan menemukan sosok wanita paruh baya dengan tumpukan buku di tangan lalu senyum itu…bukankah sebuah senyum seharusnya membawa hal yang baik?
“Hukuman fisik tak akan berguna, jadi sekarang kerjakan tugas ini, kumpulkan besok!”
.
.
.
Hukuman itu…
Bukankah sesuatu yang seharusnya membuat jera? Tapi ini…Hukuman seperti ini, Jieun menyukainya.
Menatap ekspresi serius Jinki, ekspresi yang selalu sama, selalu membuatnya tak dapat berhenti tersenyum.
“Aku sedikit lupa caranya”
“Sunbaenim”
“Ahh, aku ingat sekarang, Jieun, dengarkan baik-baik, aku hanya akan menerangkannya sekali! Aku tidak main-main!”
Memilih untuk memusatkan perhatiannya, setengah mati memahami setiap kalimat Jinki, ingin belajar dengan baik, ingin terlihat baik setidaknya sekali di depan lelaki itu.
“Mengerti?”
Mengangguk pelan lalu dengan sekuat tenaga berusaha mengingat, mengingat lalu menuliskan caranya.
Terlampau serius hingga tak menyadari jika mata sabit itu terus mengawasinya, menatapnya dalam, lalu tersenyum kala melihatnya, lekukan senyum pada bibir mungil Jieun.
“Ternyata belajar juga menyenangkan”
Mengucapkannya lalu menyandarkan punggung sempit miliknya, memejamkan mata lalu menarik nafas dalam, merasakan betapa dingin udara Seoul sore ini.
“Aku ingin belajar terus seperti ini, Jinki sunbae mau menemaniku?”
“…”
“Sunbae?”
Tak ada sahutan, memilih untuk membalik tubuhnya, menatap Jinki yang masih duduk memunggunginya, ada aura gelap disana hingga suara bass itu menjelaskan semuanya.
“Jieun…”
.
.
.
Hanya melangkah gontai, tak ingin pergi ke kantin meski bel istirahat telah berbunyi. Hanya ingin berdiam diri saja di kelas, tak ingin kemana pun, tak ingin bertemu sosok Jinki karena..Jieun…ia harus melupakannya.
.
.
.
‘Saat lulus aku akan melanjutkan kuliah di Jerman”
‘…’
‘Jangan menungguku, lupakan aku’
.
.
.
Hanya ingin sendiri, menatap langit Seoul yang gelap, hanya dapat menangkap satu bintang diantara hamparan langit, tersenyum hambar lalu meminum jus jeruknya.
“Bintang, kau sendirian disana, kau kesepian?” berbicara sendiri seperti orang tidak waras lalu melanjutkan kalimatnya “Setidaknya kau terlihat normal”
Ya, normal, normal jika bintang itu kesepian tapi Jieun, ia merasa kesepian bahkan saat ada sebuah pesta besar di sekitarnya.
“Bintang normal dan kau tidak normal, begitu?”
“Itu…”
Lagi-lagi terlihat buruk di depan Jinki?
“Jangan minum itu lagi, nanti perutmu sakit” berucap lalu menahan tangan putih Jieun yang hendak meneguk jus jeruk yang entah sudah ke berapa gelas. Berapa gelas? Dan Jinki mengetahuinya?
“Seharusnya mereka menyediakan susu vanilla”
Kenapa selalu seperti ini? Mengatakan hal-hal aneh yang membuat orang lain terheran-heran, memilih untuk menahan diri, jangan ada kalimat pedas yang meluncur atau…semuanya akan gagal.
Masih meneguk jus jeruknya, memilih untuk menatap lelaki itu, mengenakan setelan jas hitam dengan motif bunga, hei tunggu, bunga?
Tapi…bagaimana bisa ia masih terlihat tampan?
“Aku berangkat lusa”
Menekuk muka imutnya, kenapa ia disini? Bahkan mengatakan hal semacam itu? berangkat lusa, besok ataupun sekarang, ia telah bertekad untuk tidak peduli.
“Pantas saja di dalam sangat membosankan”
“…”
“Ternyata mood booster-ku disini”
Tak dapat mencerna kalimat Jinki yang sangat sederhana, hanya fokus pada minumannya, mata kecil itu memicing berkali-kali. Kenapa gelasnya jadi banyak?
“Jieun”
Tak ada sahutan, memilih untuk menatap Jieun yang terlalu fokus pada gelas ditangannya, memilih untuk mendekat, mengambil minuman itu, menghirup baunya dan ini…bau alkohol?
Beranjak dari duduknya, segera menghampiri Jieun yang berjalan tak tentu, mendekati kolam, dekat dan semakin dekat.
Meraih tangan putih Jieun yang melayang di udara, menangkapnya cepat, hampir saja tersenyum lega tapi takdir tetaplah sesuatu yang harus terjadi.
BYURR
Merasakan basah di sekujur tubuhnya, ada ekspresi marah disana, kenapa gadis itu selalu saja ceroboh?
Jutaan kata-kata umpatan telah ia siapkan tapi…bunyi kecipak air di sekitar membuyarkan pikirannya.
Meraih tubuh Jieun yang terlihat seperti tidak bisa berenang, membawa tubuh mungil itu ke tepi. Ketakutan mulai merambatinya kala mata kecil itu tak kunjung terbuka, dengan jutaan rasa panik, Jinki, ia melakukan pertolongan pertama. Menekan perut Jieun bahkan memberikan nafas buatan.
.
.
.
Saat api mengalahkan air, inilah saatnya. Saat seluruh tubuhnya menggigil akibat dingin saat itulah sebuah kehangatan menyapa, merasakan usapan lembut di punggungnya, lalu kalimat-kalimat indah yang menenangkan. Membuat gadis itu merasa dihangatkan, bukan hanya tubuh begitu juga hatinya.
“Jieun, dengarkan aku..Aku menyukaimu dan aku takkan menolaknya”
Merasakan pelukan itu semakin erat, semakin membuatnya kesulitan bernafas tapi Jieun, ia ingin seperti ini, selalu seperti ini.
Merasakan cinta yang tak pernah terbalas tapi ini, apa dunia sudah terbalik? Jinki menerimanya? Bukankah ini mimpi?
Tersenyum kecil meski hanya sebuah mimpi, sebuah mimpi yang selalu hadir di tiap tidur malamnya, sebuah mimpi dimana Jinki membalas cintanya, sebuah mimpi yang selalu ia tunggu kedatangannya, sebuah mimpi yang menyadarkannya jika Jinki…bukanlah miliknya.
Memilih untuk menikmati mimpi indahnya, menyapa bibir apel Jinki, hangat dan lembut, hanya menyentuhnya sebentar dan…ini terasa terlalu nyata.
.
.
.
Mengerjapkan mata kecilnya, memicing kala sebuah sesuatu yang menyilaukan menyapa mata kecilnya.
Memilih untuk bangun, memilih untuk turun dari ranjang, melangkah menuju kamar mandi, membuka sebuah kenop pintu dan…
“Selamat pagi Jieun”
Mengerjap berkali-kali, apa ini? Jinki di depannya? Apa ia masih bermimpi?
Merasakan sebuah cubitan ringan di hidung mungilnya, meninggalkan jejak merah disana ingin mengomel sebanyak mungkin tapi…tawa renyah itu…
“Sebenarnya aku ingin marah karena kau bodoh sekali, kau pasti sedang mengira bahwa ini mimpi, iya kan?”
“…”
“Aku sudah menyadarkanmu, kau masih belum sadar? Haruskah aku mencubitmu lagi?”
Menatap Jinki dengan bibir apel yang membuka menutup berkali-kali, telinga miliknya sedang tidak bekerja dengan baik, tak mampu memahami deretan kalimat yang terucap, hanya memandangnya lalu…menyentuhnya?
Ingin menyapanya lagi, karena…bibir apel itu terlalu manis jika harus dilewatkan. Memilih untuk berjinjit, meraih kemeja Jinki, menarik lelaki itu tapi…
“Tidak! sekarang cepat mandi, aku menunggumu di luar! Ini perintah!”
Mengatakan dengan tegas lalu menghilang bersamaan dengan deritan pintu yang tertutup pelan.
“Itu tadi….tadi…aku…” matanya bergerak tak teratur, ia bingung, itu tadi nyata lalu semalam?
.
.
.
Tak mengerti dengan situasi ini, situasi dimana Jinki sedang bercengkrama dengan ayah dan ibunya.
Hei, bukankah seharusnya ia senang?
Jadi mereka di restui?
“Aku tak menyangka jika Jieun kami dapat memikat Jinki yang sempurna!!”
Sebuah suara riang, suara dengan nada yang sama persis dengan milik gadis itu, lalu senyum yang lebar nan hangat terlihat seperti milik Jieun.
Sedikit tak suka dengan kehadiran Jinki yang seolah menyedot perhatian orang tuanya, melupakan kebingungan yang melanda sebelumnya, kenapa lelaki itu disini, bagaimana bisa? Kini Jieun melupakannya.
Ingin sembunyi saja kala kemeja putih tulang itu basah karena tumpahan makanan, memilih untuk membiarkannya saja, tak ingin ikut membersihkannya, hanya fokus pada makanan favoritnya.
“Sekarang Jinki pasti mengerti, sifat ceroboh Jieun diturunkan oleh siapa” ucap Tuan Lee dengan masih fokus pada sebuah koran di tangan rentanya.
Boleh Jieun tersenyum senang sekarang?
Ibunya ceroboh, itulah kenyataan dan itu membuatnya senang, karena…ia merasa tidak sendiri, ia merasa ada alasan kenapa ia sepayah itu.
.
.
.
Hanya melangkah pelan, kepala itu menunduk menatapnya, menatap betapa erat jemari itu menggenggamnya.
Merasakan panas di sekitar mukanya, pipi itu bersemu merah, dalam hati ia berteriak…
INI?? APA BENAR INI NYATA??
Tak menyangka jika hal seperti ini akan terjadi, merasakan kebingungan karena ini…mengajaknya berkencan? Lagi? Setelah memintanya menyerah?
Memilih untuk menikmati apa yang ada, menikmati setiap desir angin yang menyapa kulitnya, menikmati betapa menyilaukan langit senja, betapa situasi semacam ini begitu ia nantikan sejak lama.
“Hubungan jarak jauh…tak masalah kan?”
Menatap mata sabit itu cepat, ini…jadi ini benar? jadi Jinki benar menahannya? Tak melepasnya?
Boleh gadis itu menangis haru sekarang?
.
.
.
Merasakan betapa kencang deru angin menerbangkan helaian rambut panjangnya, merasakan betapa erat tangan kekar itu menahannya…
Jutaan kupu-kupu memenuhi perutnya, membuat gadis itu kesulitan menahan senyum, tersenyum?
Ia bahkan tak dapat melakukannya karena bibir apel itu menahannya, bahkan menghalanginya untuk memenuhi hak sebagai manusia…
Keduanya tersenyum, tertawa renyah diantara hembusan nafas yang memburu, meraih pasokan udara yang sempat tertunda.
“Jieun, kau akan menjaganya kan?”
“…”
“Maksudku…perasaanmu”
.
.
.
2 Tahun kemudian…
Memasang senyum paling manis yang dimilikinya, saling memeluk dan berkata…
“CHEESE!!!”
Menerima begitu banyak buket bunga, berfoto bersama, melepas seragam kebanggaannya. Ada sedikit perasaan sedih merambati hatinya.
“Suzy, Jiyeon, Sulli, Luna, kita akan berpisah?”
Saling menangisi satu sama lain, delapan belas tahun mereka bersama dan kini perpisahan menguji persahabatan.
Mencoba tersenyum karena ini bukanlah akhir, iya kan?
Berjanji untuk bertemu kembali, kembali dengan jutaan kebahagiaan yang akan di bagi bersama.
.
.
.
Dua tahun itu…
Bukanlah waktu yang singkat, iya kan?
Merindukannya seperti merindukan seseorang yang semu. Hanya mampu mendengar suaranya, melihat fotonya dari layar digital.
Tapi dua tahun itu akan terbayar kan?
.
.
.
Hanya saling menatap dalam diam, ia berubah, sangat berubah. Tak ada lagi seragam khas sekolah di tubuh mungilnya.
Tapi gadis itu masih sama kan? Perasaannya masih sama, iya kan?
“Oppa, kau berjanji pulang setelah dua tahun”
“…”
“Ini sudah tiga setengah tahun!!”
“…”
“Kau ingin membunuhku!!”
Merasakan pukulan ringan pada tubuhnya, ada tetesan bening membasahi lengannya, memilih untuk memeluknya, memeluk tubuh mungil itu, sempat lupa bagaimana rasanya…
“Jadi seperti ini rasanya memeluk Jieun-ku?”
.
.
.
Menyandarkan tubuh mungilnya nyaman, merasakan hembusan nafas Jinki yang sedikit menerbangkan surai hitamnya.
Memilih untuk menatap sosok mata sabit itu, mengamatinya begitu dekat, ia tampan, selalu terlihat tampan.
“Sedang mengagumiku?”
“Iya”
“Bagaimana bisa kau sejujur itu!!”
Hanya tersenyum kecil, kenapa Jinki selalu semenggemaskan ini?
“Eoh, lihat! Mataharinya akan tenggelam!”
.
.
.
Hanya menatap sesuatu yang mengkilat di tangannya, tak mengerti dengan situasi dimana Jinki memberikannya begitu saja lalu berucap…
“Pakai ini!”
Dengan nada memerintah, bahkan tanpa menatap matanya?
“Bukankah ini cincin?”
Dalam hati ia bertanya-tanya, untuk apa ia memakainya, mungkinkah?
“OPPA, KAU SEDANG MELAMARKU??”
“Kau senang?”
Hanya memukul kepalanya pelan, situasi macam apa ini?
“Apa yang kau tunggu!! Cepat pakai!!”
Dengan nada memerintah? Lagi? Bahkan disaat ia sedang melamar?
“KENAPA MEMAKSAKU??”
“KAU YANG KENAPA!! KENAPA BERTERIAK!!”
Memilih untuk melangkah mundur karena terkejut, melangkah menjauh, menjauhi Jinki yang…kenapa lelaki itu sama sekali tak mengerti?
Merasakan sebuah tangan kekar menahannya, memilih untuk menepisnya kasar, memicingkan mata kecilnya, ada sorot marah disana.
“APA SEPERTI INI CARANYA MELAMAR??”
“KAU-“
“OPPA, KAU TERLALU KASAR!!”
Memutuskan untuk meraih cincin itu dan…
“YAKK!! KENAPA KAU MEMBUANGNYA!!”
Berteriak lalu spontan berlari mengejarnya, mengejar benda yang ia dapatkan secara susah payah namun langkah kecil Jieun seolah memaksanya memilih.
Cincin atau Jieun…
Memilih untuk melupakan cincinnya, mencoba merelakannya meski berat, melangkah cepat, meraih tubuh mungil Jieun.
Memenjarakannya dalam sebuah pelukan…
Dengan nafas yang memburu, ia mengucapkannya…
“Maaf, maaf, aku yang salah, aku hanya kesulitan mengatakannya, tapi kenapa kau selalu salah paham? Kau tahu bagaimana aku hidup di jerman untuk mendapatkannya?…”
Menghela nafas berat, ada perasaan miris melingkupinya, berusaha melupakannya, ya, ia boleh saja kehilangan harta tapi…ia tak tahan jika harus kehilangan gadis itu.
“Aku tak menepati janjiku karena…”
Tak mampu melanjutkan kalimatnya kala…
Tawa renyah itu…
“TADA!! CINCINNYA DISINI!! OPPA!! KAU TERTIPU!!”
Hanya menatapnya kosong, tak lagi memiliki tenaga untuk menopang tubuhnya, memilih untuk membiarkannya, membiarkan kedua lututnya menyentuh butiran pasir pantai disana.
Menatap betapa bahagia gadis itu, meloncat-loncat seperti anak kecil, menyentuh cincinnya dengan ekspresi yang sangat berbunga, ingin marah namun hanya mampu tersenyum hambar.
“…karena aku ingin sekali segera menyelesaikan studiku, lalu menemuimu, melamarmu, membahagiakanmu…kenapa kau tak juga mengerti, Lee Jieun?”
EPILOG
Merasakan betapa tangan kekar itu terus mendorongnya, ini…bukankah ini terlalu menuntut?
Memilih untuk mendorongnya, memukul dada itu pelan, menarik kepalanya untuk mendapatkan pasokan oksigen.
“OPPA!! SETIDAKNYA BIARKAN AKU BERNAFAS!!”
Berteriak dengan muka yang memerah, sekuat tenaga meraup udara sekitar, membuatnya memahami jika bernafas itu sangatlah penting.
Tersenyum jahil lalu menyentuh deretan kancing di depannya…
“Oppa, kau sangat menyukaiku ya?”
PLETAKK
Merasakan sebuah ttakbam menyapa permukaan dahinya, meringis sakit, menatap Jinki yang kini menatapnya…hei, ada apa dengan tatapan serius itu?
Merasakan genggaman lembut pada telapaknya, hangat dan nyaman, tak ingin melepasnya, berharap jika waktu berhenti, tak adakah cara agar hari esok tak pernah terjadi?
“Sunbae, aku ingin membolos besok”
“Tidak boleh!”
“Aku ha-“
“Aku tak mau Jieun-ku semakin bodoh karena suka membolos!”
Hanya tersenyum kecut, Jieun-ku? Itu terdengar manis…tapi kata bodoh?
Haruskah ia mengucapkannya?
“Kau berjanji akan berubah”
“Iya” mengucapkannya dengan menunduk, perasaan sedih melingkupinya.
“Tak perlu menjadi yang terpintar, hanya lakukan tugasmu sebaik mungkin, aku ingin melihat Jieun-ku sukses, mengerti?”
Mengucapkannya lalu mengusap kepala itu lembut, merasakan anggukan disana, membuatnya merasa tenang.
“Dua tahun lagi aku akan menemuimu”
“Dua tahun?”
Hanya sebuah anggukan sebagai jawaban, menghela nafas berat, memilih untuk menatap mata sabit di depannya, ada sorot sedih disana.
Bukan hanya ia yang terluka, Jinki pun pasti terluka…
Memilih untuk berusaha menerimanya, Jinki pergi bukan untuk bersenang-senang, ia sedang meraih mimpinya, tak pantas jika ia menahannya, iya kan?
.
.
.
‘Sunbae, seharusnya kau jadi dokter’
‘Kenapa?’
‘Karena aku suka dokter! Mereka terlihat keren, iya kan?’
‘Aku ingin jadi arsitek’
‘Eumm, jadi istri arsitek sepertinya juga terlihat keren!’
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar