Minggu, 20 November 2016

Sumber : https://fanficskpopindo.wordpress.com/2015/02/12/oneshoot-i-dream-a-dream/#more-7534


[Oneshoot] I Dream A Dream

I Dream a dream_for Yuna #2
Annyeong readersdeul!
Yuna Lazuardi disini bawa FF ^^ Sebelumnya aku mau give thanks to Babyrosse untuk poster yang luar biasa ini^^ nanti kalau aku mau request lagi di take yaaa :D
FF – ini merupakan cerita lepas dari FF series Yesung (yang belum author share disini), tapi nggak tersangkut paut sama FF tersebut. Tapi perlu diketahui kalau Yesung dan Heora adalah sepasang suami istri yang memiliki anak perempuan bernama Kim Yun Ae.
FF ini author buat khusus di dedikasikan kepada Yesung alias Kim Jong Woon. Author gak menuntut banyak dari kalian. Cuma berharap kalian RCL (Read, Coment, Like) setelah melihat FF ini. Udah gitu aja.
Happy reading!

***
©Yesung For CLOUDSindo 24 Agustus, 2014
Tittle : I Dream A Dream, Sequel of True Love [Special Edition] || Author : Yuna Lazuardi Lockhart || Genre : Family, Friendship, Fluf, Little Comedy, Little Angst || Main cast : Yesung, Shin Heora (as you), Kim Yun Ae || Rating : G || Summary : Bagaimana kalau seandainya mimpi terburukmu menjadi nyata ?
 Disclaimer : Yesung milik dirinya sendiri, agensinya, keluarganya, Super Junior, dan yang pasti milik Tuhan. Tapi tidak para OC (Original Character) dan cerita ini. Alur, plot dan segala sesuatu yang berhubungan dengan cerita murni berasal dari pikiran author. Sepenuhnya fanfic ini adalah milik author dan YFCI. So, don’t claim or plagiat this FF as yours. Don’t copy this ff without permission!

***
“Kalau mimpi bisa menjadi nyata, maka aku akan memohon pada Tuhan agar aku bisa memimpikanmu setiap malam dalam tidurku…” – Yuna Lazuardi Lockhart
***
Prolog

Aku membuka mataku. Putih… Hanya warna itu yang ku lihat. Plafon putih, cat dinding putih, ranjang putih, gorden putih dan orang-orang berbaju putih. Tunggu… Kenapa mereka semua seperti—
“Dokter, disini! Tn. Kim Jong Woon sudah siuman!”
Samar-samar ku dengar suara lembut seorang gadis yang… Memakai baju putih. Dimana aku ?
“Benarkah ? Aku akan memeriksanya.” Kali ini suara berat seorang pria.

Sebenarnya apa yang terjadi ? Ku lihat seorang lelaki tua berdiri disamping ranjangku. Dengan jas putih dan stetoskop yang menggantung dilehernya. Aku tahu… Ini… Rumah sakit. Tapi kenapa aku ada disini ?
Dokter itu mulai memuka kancing seragam pasienku. Dua… Tidak. Tiga kancing terlepas. Setelah itu ia memasang stetoskopnya lalu meraba dadaku. Mungkin memeriksa detakan jantungku, atau organ lainnya. Entahlah… Aku tidak tahu.
Sekuat tenaga aku mencoba menopang tubuhku, berusaha bangkit dari ranjang berkasur tipis yang sepertinya sudah beberapa hari ku tempati. Dan rasanya… Berat. Tubuhku sepertinya terlalu lemas untuk bisa bangun dari sini.
“Berbaringlah, tuan. Tubuh anda masih lemas.” gadis berseragam perawat itu menyilangkan tangannya di dadaku, melarangku.
“A… Aku tidak apa-apa.” Sahutku pelan.

Sekali lagi aku mencoba bangkit, berharap bisa bangun atau sekedar duduk. Tapi yang terjadi hanya punggungku yang sedikit terangkat. Rasanya syaraf-syaraf ditubuhku ini terlalu lemah. Sebenarnya sudah berapa lama aku terbaring disini ? Kenapa aku tidak ingat apapun ?
“Dokter, tanggal berapa sekarang ?”
Dokter itu menatap aku dan perawat disampingnya dengan wajah bingung, “24 Desember. Ini malam natal…”
Aku terdiam. 24 Desember ? Apa dokter itu tidak salah tanggal ? Seharusnya ini masih bulan Agustus. Seharusnya ini masih… Ulang tahunku.

Aku masih tak percaya bahkan setelah melihat kelender sekalipun. Sekali lagi aku melihat keadaan di sekitar. Rasanya seperti ada yang kurang. Sesuatu yang penting dan aku tidak bisa mengingatnya. Ehm… Seperti makan es kacang merah tanpa kacang merah. Atau seperti makan kimchi tanpa bubuk cabai. Hambar. Rasanya ada sesuatu yang hilang. Tapi apa ?
“Apa anda mencari sesuatu, Tn. Kim ?” perawat itu bertanya padaku.
Aku menatapnya ragu, “Apa menurutmu ada hal yang aku lupakan, suster ?”
Perawat itu menggeleng. Sepertinya dia juga sama bingungnya dengan aku. Mungkin pertanyaanku yang membuatnya bingung.
“Seharusnya tidak, tuan. Anda tidak mengalami amnesia, jadi anda tidak mungkin melupakan hal apapun.” Jawabnya kemudian.

Aku semakin heran. Ingatanku bagus. Tidak ada hal yang aku lupakan. Tapi kenapa aku merasa kosong…? Ada bagian dari diriku yang hilang. Dan sialnya, aku tidak tahu apa itu. Wajahku masih seperti biasa, tidak ada yang berubah. Kecuali bulu-bulu halus yang tumbuh di atas bibir dan janggutku. Anggota tubuhku masih lengkap, suaraku juga tidak apa-apa. Tapi kenapa aku merasa ada bagian dari diriku yang hilang ?
“Apa tuan merasa ada bagian yang sakit atau tidak nyaman ?” perawat itu bertanya lagi padaku.
Aku menggeleng pelan, “Bukan, suster. Aku hanya merasa seperti ada bagian dari diriku yang hilang…”
“Hmm… Mungkin penggemar anda, kerabat anda, teman-teman anda, adik anda, atau orang tua anda ?” Suster itu menyebutkan pilihannya padaku.

Aku masih berpikir. Penggemar ? Kerabat ? Teman-teman ? Adik ? Orang tua ? Sepertinya bukan mereka. ELF ? CLOUDS ? Sepertinya bukan. Aku menngingat mereka dengan baik. Bukan Super Junior, bukan Jongjin, dan bukan ayah atau ibu. Lalu siapa ? Kurasa keluargaku lengkap. Eh, tunggu!
Keluarga
Keluarga.
Keluarga…
Keluarga… ?
Astaga! Benar! Keluarga.

Bukan penggemar, kerabat, teman-teman, adik, atau ayah dan ibu. Tapi keluarga! Keluargaku! Istriku Heora dan putriku Yun Ae. Ya Tuhan, kenapa aku bisa melupakan orang-orang yang begitu penting dalam hidupku ? Keluargaku. Keluarga kecilku. Tunggu! Tapi… Di mana… Mereka ? Kalau aku dirawat disini, bukankah Heora dan Yun Ae juga ada disini ? Mengungguku, menjagaku dan menemaniku. Kalau begitu dimana mereka ?
“Dokter, dimana keluargaku ?” tanyaku cepat.

Aku tersenyum, sementara dokter itu— Hei! Kenapa wajah lelaki tua itu berubah murung ? Apa ada yang salah dengan kata-kataku ? Atau aku sudah menyinggungnya ? Sepertinya tidak. Bukan itu. Rasanya seperti ada yang—
“Adik dan orang tua anda baru saja pulang, tuan. Mereka bilang akan kembali setelah menghadiri misa natal.” Suster itu menjawab.
Aku melunturkan senyumku. Tidak. Bukan itu yang kutanyakan. Bukan Jongjin atau ayah dan ibu. Pasti ada yang salah.
“Maksudku keluargaku, suster. Istri dan anak ku…” jelasku.
“Ehm mereka…” suster itu terhenti, mimik wajahnya terlihat bingung dan ia seperti sedang mencari-cari alasan.
“Mereka kenapa ? Apa mereka ikut menghadiri misa natal bersama ayah dan ibuku ?” tanyaku lagi.
“Ehm.” Kulihat dokter itu berdeham. Sungguh, ini semakin aneh. Perasaanku juga semakin tidak enak.
“Me… Mereka pergi untuk bertemu Tuhan.” Jawab suster itu cepat.
Sejenak aku merasa lega. Senyumku mengembang. Sepertinya Heora dan Yun Ae sedang ke gereja. “Kapan mereka pergi ?”
“Empat bulan yang lalu saat anda dibawa ke sini. Tepatnya tanggal 24 Agustus.” Suster itu menjawab pelan. Sangat pelan sehingga lebih terdengar seperti bisikan.
“Jadi maksudmu mereka meninggalkanku ?!” aku tersentak.

Senyuman yang baru saja mengembang musnah begitu saja. Tiba-tiba mataku terasa perih, seperti ada sesuatu yang menusuk-nusuk dan membuat cairan beningnya menyeruak keluar. Dalam bayanganku, aku seperti melihat Heora menghilang lima tahun yang lalu.
Dokter itu bangkit lalu mengusap pundak ku, “Tenanglah… Mereka sudah bahagia disana. aku yakin Tuhan akan memberikan tempat terbaik untuk istri dan anakmu…”

Lagi-lagi aku terdiam, mencoba meresapi kata-kata pria tua itu. Di tanggal yang sama saat ulang tahunku. Di waktu yang sama saat aku dibawa kesini. Disaat yang sama Heora dan Yun Ae… Pergi menemui Tuhan ? Jadi mereka tidak ke gereja, tapi mereka sudah— Ya Tuhan! Apa yang terjadi sebenarnya ?!
“Dokter… Katakan padaku kalau anda sedang bercanda. Iya, kan’ ?” aku menarik jas pria itu.
Aku beralih pada gadis perawat disampingku, “Suster… Ayo katakan kalau dokter sedang bercanda…!”
“Maafkan aku, tuan Kim…” ucapnya pelan.
“Tidak…!!!” aku berteriak.
Sekuat tenaga aku merengut kerah kemeja dokter itu, “Katakan padaku dimana mereka ?! Apa yang sebenarnya terjadi, dokter ?!”

PLAKK…
“Tn. Kim, anda harus tenang!” perawat itu menamparku, berusaha menyadarkanku.
Aku tidak mempedulikan pipiku yang terasa panas. Aku masih menatap dokter itu dengan tatapan tajam, menuntut penjelasan. Ini gila! Bagaimana bisa Heora dan Yun Ae…
“Mungkin ini sudah saatnya…” dokter itu terhenti.
“Empat bulan yang lalu terjadi kecelakaan besar. Banyak mobil keluarga ditabrak truk pengangkut bahan bakar minyak yang hilang kendali, kecelakaan beruntun. Di dalam salah satu mobil, ada seorang ayah, ibu dan gadis kecil. Mereka semua terombang ambing dalam keadaan antara hidup dan mati. Beberapa saat setelah kejadian, ambulans dan tim dokter dikirim ke TKP untuk mengangkut para korban. Saat itu aku dan suster Han ikut turun ke lokasi.”
Aku menatap pria di depanku lekat-lekat, mendengarkan semua ceritanya dengan seksama.
“Disaat semua orang mengkhawatirkan mobil-mobil lain yang terlihat rusak parah, kami justru mengkhawatirkan sebuah mobil silver yang terjepit badan truk. Dari atas tangki mengucur bahan bakar minyak yang bisa kapan saja meledak. Didalamnya ada tiga orang yang tak sadarkan diri. Seorang ayah, ibu dan anak perempuan. Kami sekuat tenaga mengeluarkan keluaga kecil tersebut. Beruntung mobilnya baru meledak saat kami sudah mengeluarkan gadis kecil itu.” Matanya terlihat menerawang.
“Kami membawa semua korban ke rumah sakit. Dokter-dokter lain fokus pada korban yang baru sampai, tapi aku lebih tertarik menyelamatkan nyawa sebuah keluarga yang mobilnya terjepit truk. Malam itu adalah mala petaka bagi kami. Aku dan suster Han kehilangan dua nyawa disaat yang sama. Mereka adalah—”
“Heora…. dan…. Yun Ae…. ?” aku memotong ucapannya.

Air mataku sudah jatuh sejak cerita itu dimulai. Dadaku sesak. Rasanya seperti ada pisau tak terlihat yang menusuk dadaku, lalu mengoyaknya. Seakan luka dari tusukan itu mengucurkan darah sehingga sakit yang aku rasakan.
“Aku hanya bisa menyelamatkanmu. Saat itu istrimu mengalami pendarahan di otak, sementara putrimu… Dia sudah tidak bernafas saat sampai disini. Satu-satunya harapanku adalah kau, tapi setelah aku selesai mengoperasimu, kau koma…” Dokter itu menghapus air matanya.
***

I Dream A Dream


“Appa! Ayo bangun!”
Suara melengking itu mengusik pendengaranku. Rasanya aku sering mendengarnya. Tapi dimana ?
PLETAK!
“APPA! AYO BANGUN!!!”   \(O_O)/
Akh… Aku memegangi kepalaku. Rasa sakit yang berbuah denyutan itu menjalari kepalaku, nyeri rasanya. Pelan-pelan aku membuka mata. Kemudian—
“HWAAA…!”
Brukkhhh…
Aishh… kali ini aku memegangi pinggulku. Rasanya lumayan ngilu setelah jatuh cukup keras dari tempat tidur. Ku buka mataku lebar-lebar. Dan rupanya di depanku sudah ada seorang malaikat kecil yang cantik tapi punya kelakuan evil seperti dongsaeng ku, Kyuhyun.
“Yun Ae, jangan muncul tiba-tiba begitu!” kesalku.
Malaikat kecil itu mengerucutkan bibirnya, “Aku tidak muncul tiba-tiba, Appa. Aku sudah disini sejak satu jam yang lalu. Appa saja yang tidurnya mati…!”
“Memukul Appa dan membuat Appa jatuh dari tempat tidur, ayo minta maaf.” Balasku pura-pura marah.
“Aku minta maaf.” Dia mengalihkan pandangannya, menghindari tatapanku.
“Minta maaf yang benar. Tundukan kepalamu, lalu tatap Appa…” tukasku masih berpura-pura marah.
“Tidak mau.”
“Apa ?”
“Tidak mau!”
Aku menarik nafas, “Kim Yun Ae!”
“Aku memang memukul Appa, tapi aku tidak membuat Appa jatuh dari tempat tidur. Jadi aku akan minta maaf hanya untuk satu kesalahan saja.” Ucapnya tegas.

Aishh… Kalau sudah begini, maka sudah bisa ditentukan siapa pemenangnya. Ah, kenapa malaikat kecilku ini mirip sekali dengan Kyuhyun, ya ? Apa karena dia sering bermain dengan dongsaeng setan itu ?

“Yun Ae! Cepat ajak Appa-mu turun, sayang…”
Nah… Terdengar panggilan merdu dari bidadari ku, Heora. Aigoo, sepertinya mimpi buruk semalam sudah membuatku merindukannya begitu banyak.
Secepat kilat aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan gosok gigi. Setelah itu ku angkat Yun Ae dalam gendonganku sambil turun ke meja makan. Manisnya sup strawberry kismis, kopi arabica, dan roti panggang madu sudah tercium dari sini. Bisa dibayangkan betapa lezatnya menu sarapan pagi ini.
“Whoah… Sepertinya ada yang special disini.” Aku menurunkan Yun Ae sambil memberikan cengiran kuda pada Heora.
“Duduklah, Oppa. Sarapan hari ini menu kesukaanmu. Seperti di Mouse Rabbit, kan’ ?” di tersenyum, senyum khas yang hanya bisa ditemukan dalam dirinya.
Aku menatapnya lekat-lekat, “Hm… Seperti di Mouse Rabbit.”
Ku lihat wanitaku itu hanya tersipu malu saat aku menatapnya intens. Dia memang selalu manis.
“Eomma, susu cokelatku.” Yun Ae menarik-narik ujung baju Heora. Kyeopta…^^
Heora masih mengaduk segelas susu cokelat, “Iya, sebentar. Kau harus belajar sabar, Yun Ae…”
“Bagaimana sekolahmu ?” aku bertanya tepat pada saat malaikat kecilku itu duduk di kursi tingginya.
Dia menatapku, “Seperti biasa. Apa appa mau tahu hal yang lebih menarik daripada sekolah ?”
Aku mengangguk, “Apa ?”

CHU~
Senyumku membuncah! Bagaimana tidak ? Tiba-tiba saja aku mendapat kecupan manis dari malaikatku J
“Saengil chukkhae, Appa!” lanjutnya ceria.

GREEP…
Kali ini aku merasakan hangat di punggungku. Dan… Oh, Ya Tuhan, kejutan apa lagi sekarang ? Ku lihat Heora memeluk ku dari belakang. Dia juga membawa cupcake kecil dengan lilin menyala diatasnya!
“Saengil chukkhae, Oppa.”

CHU~
Dia mencium pipiku. Aku terkejut. Antara senang, bahagia, dan melayang. Aku tidak tahu apapun lagi selain debaran jantung menggembirakan ini.
“Sekarang buat permohonan.” Heora tersenyum.
Aku memejamkan mata. Tuhan, aku tidak ingin minta apapun lagi padamu. Aku hanya ingin kau memberikan aku waktu yang lebih lama untuk merasakan kebahagiaan bersama keluarga kecilku ini. Aamiin.
Aku membuka mata, “Ada Super Junior festival di N Seoul Tower. Apa kalian mau pergi ?”
“Benarkah ? Kita akan pergi ?” Yun Ae terlihat sangat senang. Matanya bahkan berbinar-binar.
“Kau yakin mau pergi, Oppa ? Apa tidak ada jadwal hari ini ?” Heora menatapku.
“Eomma… Ayolah… Biarkan Appa membolos sesekali.” Yun Ae merajuk.
Aku tersenyum, “Hari ini tidak ada jadwal. Ayo kita kejutkan para ELF dengan berkunjung kesana.”
“Asyiiikk! Kita akan pergi! Kita akan pergi…!!”

Kulihat Yun Ae melompat-lompat kegirangan. Rambut cokelatnya yang bergelombang itu bergerak naik turun engikuti tubuh mungilnya. Tapi…
Tunggu. Sepertinya ada yang aneh. Rasanya aku pernah mengalami situasi seperti ini sebelumnya. Tapi dimana ? Kapan ? Apa ini seperti De Ja Vu ?
Senyuman khas Heora, menu sarapan pagi ini, dan semua tingkah lucu Yun Ae… Kenapa aku merasa seperti kembali ke masa lalu ? Aku yakin aku pernah mengalami moment yang seperti ini. Tapi kapan ? Dan kenapa semuanya terlihat sama persis seperti yang pernah aku lihat…?

“Yun Ae, selesaikan sarapanmu.” Tiba-tiba saja Heora berteriak.
Aku menoleh, menatap mereka. Pertanyaan ini… Pertanyaan ini… Yun Ae pasti akan menjawabKita akan jalan-jalan, jadi aku harus mandi, Eomma…
Yun Ae memandang kesal sambil mengerucutkan bibirnya, “Kita akan jalan-jalan, jadi aku harus mandi, Eomma…” ucapnya sedikit merajuk.
Nah, benar kan’ ? Lalu selanjutnya Heora akan marah karena Yun Ae tidak menghabiskan makanannya. Mereka kemudian terlibat perdebatan kecil dan…
“Habiskan makananmu.” Tegas Heora.
“Tidak mau, aku sudah kenyang.” Jawab Yun Ae cepat.
Heora mengambil nafas, “Tidak habis, tidak ada jalan-jalan.”
“Eomma…!!”
Aku masih memperhatikan mereka dan masih bingung atas keanehan yang sepertinya hanya menimpaku saja.
“Appa…” Yun Ae memanggilku. Ku lihat malaikat kecil itu mengeluarkan puppy eyes-nya.
Aku tersenyum, “Ayo duduk. Appa akan membantu Yun Ae menghabiskan makanannya.”
“Appa…!!”
“Kau tidak boleh membuang-buang makanan, sayang…” ucap Heora akhirnya.
Lagi-lagi Yun Ae mengerucutkan bibirnya, “Tapi aku sudah kenyang Eomma…”
“Apa yang sudah kau letakan dipiringmu, itulah tanggung jawabmu.” Tambahku.

Ah… Akhirnya Yun Ae-ku duduk. Dia mengambil satu mangkuk sup strawberry kismis-nya dan meneguknya cepat.
“Supnya sudah habis. Telur mata sapi dan sandwich-nya bagian Appa.” Tegasnya.
“Arraseo. Cepat mandi. Setelah ini kita langsung pergi.”sahutku sambil tersenyum.

Aku terdiam. Lagi-lagi Dejavu. Aku merasa seperti pernah mengucapkan kata-kata itu. Dan anehnya aku ingat betul kalau aku mengucapkannya di saat yang sama, di tempat yang sama, di situasi yang sama. Ya Tuhan, sebenarnya ada apa denganku ?

***

“Yun Ae, pakai sabuk pengamanmu.”
“Ne, Eomma…”

Saat aku menoleh malaikat kecilku sudah duduk manis sambil memberikan cengiran terbaiknya yang aku balas dengan senyuman lebar. Sepertinya Yun Ae sangat bahagia. Aku tahu kalau aku bukanlah ayah yang baik. Bayangkan saja, dalam satu tahun aku hanya bisa beberapa kali mengajaknya jalan-jalan. Tentu saja banyak hal yang kupertimbangkan. Pers, wartawan, fans, dan… Jadwal.
Tapi sejujurnya hari ini aneh. Benar-benar Dejavu. Bahkan caraku mengendarai mobil, memilih jalan, dan berhenti dilampu merah sama persis seperti perkiraanku sebelumnya. Seperti aku pernah mengalami ini. Oh, bahkan kata-kata yang akan diucapkan Heora atau Yun Ae seperti pernah aku dengar sebelumnya.
“Appa, ada sesuatu di depan sana…”

Aku melihat Yun Ae melalui kaca spion yang menggantung di tengah. Memang sedikit macet hari ini. Tidak biasanya seperti ini. Sepertinya ada sedikit kekacauan disana. dan lagi-lagi… Dejavu.

Tiiiiiinnnnnnn!!!! Tiiiiiiiiinnnnnnnn!!!

Suara melengking itu bersahutan dibelakangku. Seperti mereka sudah tak sabar, dan seperti dugaanku –lagi— salah satu mobil dibelakangku menyerobot dan memotong barisan di depanku. Arrggghh…. Sial!
“Sepertinya ada sedikit kecelakaan lalu lintas, Oppa…” Heora menatapku.
Aku mengangguk, “Ya, ada siswa SMA yang sepeda motornya tertabrak mobil…”
“Eh, darimana Oppa tahu ? Apa kelihatan jelas ? Kenapa aku tidak melihatnya ?” Heora menatapku dengan tatapan ingin tahu.
Astaga… Habislah aku! Dia pasti penasaran dari mana aku tahu semua itu.
“Hanya menebak.” Singkatku.
Kulihat Heora tampak puas. Aku pun menoleh kebelakang dan melihat Yun Ae. Rupanya anak itu sedang asyik dengan PSP-nya. Aigoo… Syukurlah.

Tiiiiiinnnnnn!!! Tiiiinnnnnnn!!! Tiiiiiiiiiinnnnnnnn!!!

Suara klakson-klakson itu terdengar semakin ramai… dan…. Terburu-buru ? Tunggu. Tapi kenapa mereka tampak seperti terburu-buru ?
Aku semakin tidak mengerti dengan keadaan ini. Aku juga semakin merasakan kalau Dejavu yang sejak pagi tadi menyergapku akan menjadi kenyataan yang buruk hari ini. Tapi apa ?

Tiba-tiba saja…


TIIIN…!!! TIIIIINN…!!!! TIIIIIINNN…!!!!!


SREEETTT….


CKIIITTT…!!! BRUAAAAKKK….!!!!


Sakit. Hanya itu yang bisa aku rasakan. Dari dalam sini aku masih melihat jelas saat truk bahan bakar minyak itu menubruk semua mobil yang berbaris dalam kemacetan disini, dan menyeret mobilku hingga terhimpit.
“H… H… Heora…”
Suaraku tercekat. Aku tidak bisa merasakan apapun lagi. Rasa sakit di seluruh tubuhku berubah kebas. Dari ujung mataku aku bisa melihat kalau Heora dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Banyak darah yang keluar dari kepalanya. Dan saat aku menoleh, aku semakin tak bbisa mengatakan apapun.
Kulihat Yun Ae, malaikat kecilku itu sudah terkapar tak sadarkan diri. Ingin rasanya aku bangkit, memeluk mereka dan memanggil nama mereka. Tapi tidak bisa. Yang bisa kulakukan hanya melihat mereka dalam keadaan menyedihkan.

Ngguuuiiiinngg~ Ngggguuuuuiiinnngg~

Suara melengking itu memenuhi pendengaranku, ambulance. Tak lama setelahnya, seseorang membuka paksa pintu mobilku. Mereka mengeluarkan Yun Ae dan Heora. aku tersenyum lega. Rasa takutku yang membuncah sudah sedikit berkurang. Setidaknya aku tahu kalau mereka akan mendapat perawatan medis. Terimakasih Tuhan…
“Suster, disini! Masih ada seorang lagi disini!”
Samar-samar aku mendengar teriakan itu. Sepertinya aku mengenal suara itu. Tapi dimana ? Kapan ? Seingatku aku belum pernah bertemu dengan pemilik suara itu. Lalu perasaan apa ini ? Mengapa aku merasa sangat mengenal suara itu ?
“Pendarahan di perut, dokter.”
Kali ini suara seorang gadis. Anehnya, lagi-lagi aku merasa mengenal suara itu dengan baik. Sebenarnya siapa mereka ? Apa yang terjadi padaku ? Kenapa semua Dejavu yang aku alami hari ini menjadi mala petaka ?
Sekuat tenaga aku membuka mataku. Setengah terpejam aku menatap seorang perawat dan dokter tua berseragam putih. Aku mencoba memfokuskan lagi pendanganku.
Tapi…
Mata cokelat dokter itu…
Senyuman perawat itu…
Dan suara mereka…
Apa aku pernah bertemu mereka sebelumnya ?
Mataku terpejam lagi. Tiba-tiba saja kepalaku terasa berdenyut. Sakitnya bukan main. Seperti mau meledak rasanya. Dan… Gelap.
Aku tidak bisa melihat apapun…

Tapi…

“Empat bulan yang lalu kecelakaan besar. Banyak mobil keluarga…”
Ada sebuah suara yang memenuhi pendengaranku. Kemudian…

Hening.

“Dokter-dokter lain fokus pada korban yang baru sampai, tapi aku lebih tertarik menyelamatkan nyawa sebuah keluarga yang mobilnya terjepit truk…”
Lagi-lagi suara itu menggema dikepalaku. Aku tidak tahu apa maksud dari kata-kata itu, tapi aku seperti pernah mendengarnya.

“Aku hanya bisa menyelamatkanmu. Saat itu istrimu mengalami pendarahan di otak, sementara putrimu…”

Heora…
Yun Ae…
Ya Tuhan, sebenarnya apa yang terjadi ? Hadiah apa yang ingin kau berikan untuk ku ?

“Pasang infusnya, dan ambil sampel darahnya, suster.” Terdengar lagi suara pria tua itu.
Tunggu. Pria tua ? Dokter ? Bukankah ini seperti apa yang ada dalam mimpiku ? Tadi pagi, saat Yun Ae membangunkan aku… Aku… Aku… Dokter itu…
Mimpi ?
Benarkah ini mimpi ? Atau Kenyataan ?
Apa mimpiku bisa menjadi nyata ?
Kalau begitu…. Apakah… Yun Ae dan Heora akan—


Tidak! Ini tidak mungkin! Tidak mungkin…!!!

***

“Tidak… Tidak mungkin…”
“Heo… Yun Ae… Tidak…”
Mata lelaki itu masih terpejam, tapi keringat dingin sudha membasahi dahinya. Bibirnya bergetar, menggumamkan kata demi kata yang tidak jelas apa maksudnya. Dengan kening berkerut, lelaki itu masih menggelengkan kepalanya kesana-kemari.
“Oppa…”
“Oppa, bangun.”
Wanita bertubuh mungil itu duduk di pinggir ranjang berukurang king size itu sambil menepuk-nepuk pelan pipi pria-nya.
“Andwe… Heora-ah…”
Ia menghela nafas, “Bangun, Oppa! Bangun!”
“Oppa, ba—”

Mata itu terbuka. Mata kecil yang bulat itu terbuka lebar. Mungkin terbelalak lebih tepat.
“Heo-ah, andwe-yo!” ucapnya terengah-engah.
“Ada apa, Yesung Oppa? Apa Oppa mimpi buruk ?” tanya wanita itu kemudian.

GREPP…
Tiba-tiba saja Yesung memeluk Heora kuat.
“Syukurlah…”
“Huh ?”
Yesung tersenyum lembut, “Syukurlah kalian tidak apa-apa. Syukurlah semua itu hanya mimpi semata. Syukurlah…”
“Aku baik-baik saja. Memangnya apa yang Oppa mimpikan ?” tanya Heora bingung.
“Mimpi buruk. Sangat buruk.” Jawab Yesung singkat.
Heora tersenyum tipis, “Apa Oppa tidak lupa berdo’a semalam ?”
“Tidak.”
“Kalau begitu, jam berapa Oppa tidur semalam ?” tanya Heora lagi.
“Sekitar jam 2 pagi. Aku tidak bisa tidur.”
Kali ini Heora menarik nafas, “Lalu apa yang Oppa tonton sampai selarut itu ?”
“Aku tidak menonton. Aku membaca novel The Fault In Our Star. Karena bukunya bagus, jadi aku tidak tidur sebelum menyelesaikannya.” Jelas Yesung.
“Jadi apa yang Oppa mimpikan semalam ?”
Sekarang giliran Yesung yang menarik nafas, “Aku bermimpi… kalau aku… aku…”
“Apa ?”
“Dalam mimpiku, aku kehilangan kalian berdua. Kau dan Yun Ae…” lanjut Yesung pelan.

Heora lagi-lagi tersenyum tipis. Ia kemudian mengalungkan lengannya dileher Yesung sebelum memeluk pria itu.
“Aku dan Yun Ae tidak akan pergi kemana-mana lagi. Bukankah aku sudah berjanji ? Kalau aku bersedia memulainya dari awal. Jada jangan takut kehilangan kami, karena kami tidak akan melepaskan Oppa.”
“Aku mencintaimu.” Yesung mempererat pelukannya.
“Aku juga.”

Krieett…
Pintu dibuka. Seorang gadis kecil masuk dengan kotak besar ditangannya, sebuah kado. Kado yang cukup… Wow.
“Appa, Eomma… Apa yang kalian lakukan, eoh ?!”

-THE END-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar