Minggu, 20 November 2016

Sumber : https://fanficskpopindo.wordpress.com/2015/02/12/oneshot-would-you-open-it/#more-7542


[Oneshot] Would You Open It?

Would You Open It
Would You Open It?
By Joonisa
EXO Do Kyungsoo, GOT7 Mark Tuan, Kim Soohyun as Do Minjoon | Family, SAD | PG-13 |Oneshot (+2Kwords)
Bagaimana jika kalian diberi kesempatan untuk mengetahui kapan dan bagaimana kalian akan mati? Apakah kalian akan mengambil kesempatan itu atau justru melewatkannya?


“Seandainya kertas yang ada di dalam botol ini bertuliskan kapan dan bagaimana kau akan meninggal, apakah kau akan membukanya?”
Kyungsoo menggeleng.
“Yakin?”
Kyungsoo mengangguk.
“Kau tidak akan membukanya? Kau tidak penasaran?”
Untuk kedua kalinya Kyungsoo mengangguk, kali ini disertai dengan sorotan tajam dari matanya.
“Kenapa? Takut akan kematian?”
Kyungsoo mendesah, menekuri botol kaca berisi gulungan kertas usang yang ia letakkan di atas meja. Percakapan 12 tahun yang lalu, saat ia masih berusia delapan tahun, berpendar di kepalanya.
Saat itu Kyungsoo tengah berada di pasar malam. Bujukan sang ayah sukses membuatnya bersedia berada di keramaian yang sama sekali tidak disukainya. Kegiatan kyungsoo yang hanya membaca buku dan menonton film kartun di rumah agaknya membuat sang ayah khawatir akan perkembangan psikologis anak semata wayangnya itu.
Berbagai macam stan telah dilalui kyungsoo, tak ada satupun yang menarik minatnya. Sampai matanya tertuju pada sebuah stan bertuliskan ‘Madam Jihyun’. Kyungsoo tertegun melihat penampilan stan itu. Terbuat dari kayu cokelat, tirai hitam polos, dan hanya ada sebuah lampu putih tepat di depan pintu. Sangat jauh dari kesan pasar malam yang meriah dengan lampu warna-warni.
Begitu kelabu, persis denganku, pikir Kyungsoo. Tanpa suara ia melepaskan genggaman tangan ayahnya dan berlari menuju stan itu. Do Minjoon, ayah Kyungsoo, awalnya ingin meraih kembali tangan Kyungsoo karena mengira anaknya ditarik oleh orang lain. Tapi setelah melihat Kyungsoo menuju ke salah satu stan, Minjoon tersenyum dan memilih untuk membiarkan Kyungsoo ke sana. Setidaknya ada hal yang membuat Kyungsoo tertarik.
“Ayah menunggu di sini ya!” teriak Minjoon menunjuk sebuah bangku panjang di dekatnya. Kyungsoo berbalik, mengangguk tanpa suara, lalu melanjutkan larinya.
Kyugsoo sampai di depan stan. Dengan satu langkah mantap ia membuka tirai hitam dan masuk ke dalamnya. Lampu temaram dan kebisuan kontan menyergap Kyungsoo. Ia merasakan bulu kuduknya meremang, namun tak dihiraukannya.
Kyungsoo tercekat melihat wanita yang duduk di balik bola kristal ajaib – yang menurut Kyungsoo lebih mirip kelereng raksasa. Dandanannya jauh dari kesan paranormal yang ia lihat di tv atau film kartun. Wanita itu muda dan cantik, kira-kira seumuran dengan ayahnya.
“Apakah Anda… Madam Jihyun?” tanya Kyungsoo tergagap.
Wanita itu tersenyum padanya lalu mengangguk, “silakan duduk, Kyungsoo.”
“Dari mana Anda tahu nama saya?”
“Aku memiliki kelebihan yang jarang dimiliki orang lain.”
“Bagaimana bisa?” Rasa penasaran Kyungsoo mulai merajai akalnya. Ia masih berdiri dan tidak duduk seperti yang dititahkan Madam Jihyun.
“Duduklah dulu…”
“Jelaskan dulu, baru aku akan duduk!”
Madam Jihyun tidak ingin berlama-lama debat kusir dengan anak usia delapan tahun. Ia tahu kalau Kyungsoo tidak akan patuh karena anak seusianya dirasa belum mengerti apa itu indra keenam.
“Aku sudah terlahir seperti ini, Nak. Sama sepertimu yang terlahir dengan mata yang bulat dan besar.”
Jawaban Madam Jihyun agaknya membuat Kyungsoo puas. Ia lalu duduk ke kursi yang tersedia di hadapan Madam Jihyun. Tubuhnya yang mungil membuat kakinya menggantung dan tidak menjejak tanah saat duduk.
“Ada yang ingin kau tanyakan, Kyungsoo?”
“Kapan ayah dan ibuku akan kembali bersama seperti dulu?”
Madam Jihyun sontak merasa iba pada Kyungsoo. Anak itu melontarkan pertanyaannya dengan polos, tanpa mengetahui makna sesungguhnya dari perpisahan yang dilakukan orang tuanya.
Ia lalu mengambil sebuah botol kaca berisikan sebuah kertas yang terletak di bawah meja.
“Karena aku tidak dapat menjawab, sebagai gantinya, aku akan memberikan botol ini padamu.”
Kyungsoo menyambut botol itu dengan berjuta tanya di kepalanya. Ketika Kyungsoo siap melontarkan pertanyaan pertama, Madam Jihyun menginterupsi dengan cepat.

Lalu terjadilah percakapan yang ada di benak Kyungsoo tadi.

Kyungsoo membuka laci meja belajarnya, melempar botol itu, lalu mengunci laci rapat-rapat. Ia tertegun sejenak, kemudian membuka laci meja itu kembali. Diambilnya amplop besar berwarna cokelat yang ada di dasar laci. Senyum getir menghiasi bibirnya ketika menatap amplop itu.
“Halo, leukimia stadium lanjut.”
***
Do Minjoon dan Do Kyungsoo, meskipun secara harfiah ayah dan anak ini makan di meja yang sama, namun tidak serta-merta membuat mereka berada-di-situ-bersama-sama. Minjoon tahu betul perangai Kyungsoo. Anak itu tidak banyak bicara, apalagi saat di depan makanan.
Makan bersama Kyungsoo sama saja dengan makan seorang diri – bahkan mungkin bisa lebih buruk tatkala Kyungsoo sedang tidak moodmenjawab pertanyaan basa-basi ayahnya. Namun kali ini Minjoon ingin berpura-pura lupa dengan sifat Kyungsoo.
“Kyungsoo.”
Kyungsoo mendongak menatap ayahnya dengan wajah datar.
“Ya?”
“Besok hari minggu. Bagaimana kalau kita rekreasi? Rasanya sudah lama sekali kita tidak – “
“Besok jadwal kemoterapiku.”
“Ah… iya benar. Besok jadwal kemoterapi. Hahaha…” Minjoon tertawa garing, menertawakan kebodohannya. Biasanya dia sendiri yang mengantar Kyungsoo untuk menjalani kemo, bagaimana mungkin dia lupa jadwalnya?
“Aku sudah selesai,” Kyungsoo berdiri dan merapikan peralatan makannya.
Kyungsoo membawa piring kotor ke dapur dan mulai mencucinya. Minjoon menatap punggung Kyungsoo sambil menghela nafasnya yang terasa berat. Jauh di lubuk hatinya, hal terberat di hidupnya saat ini adalah penyakit yang diderita oleh Kyungsoo. Dokter memvonis kalau umur Kyungsoo tidak akan lama lagi dan kemoterapi tidak membawa pengaruh yang signifikan.
Meskipun begitu, sebagai seorang ayah, Minjoon pasti mengusahakan yang terbaik agar anaknya tetap hidup. Kemoterapi tetap dilakukan oleh Kyungsoo, dan Kyungsoo pun juga tidak membantah untuk menjalaninya.
Kyungsoo tidak terlihat putus asa dengan penyakitnya. Ia biasa-biasa saja, sama seperti hari-hari sebelumnya. Hal itulah yang membuat Minjoon memiliki semangat lebih untuk membuat Kyungsoo sembuh atau paling tidak agar ia bisa bertahan hidup lebih lama.
Minjoon ingin sekali mengatakan pada Kyungsoo kalau ia akan mengabulkan apapun yang Kyungsoo inginkan. Minjoon ingin membuat anaknya yang datar itu bahagia meskipun sekali saja dalam hidupnya. Karena setelah Minjoon bercerai dengan ibu Kyungsoo, ia kehilangan binar kebahagiaan di mata anaknya itu.
“Kyungsoo.”
“Ya?”
“Apa ada sesuatu yang sangat kau inginkan? Kalau ayah masih sanggup, ayah akan memberikannya.”
Kyungsoo berhenti menggosok piringnya. Ia tercenung selama beberapa saat, kemudian melanjutkan kegiatan cuci piringnya. Hanya satu keinginan Kyungsoo yang belum dikabulkan oleh ayahnya selama 12 tahun terakhir.
“Aku ingin ayah dan ibu kembali bersatu.”
Minjoon memijit pelipisnya. “Nak, kau tahu kalau itu adalah hal yang mustahil, bukan?”
“Kalau begitu jangan bertanya.”
“Bisakah kau ganti permintaannya?” pinta Minjoon sedikit gusar.
“Aku minta besok tidak usah diantar kemoterapi.”
Kyungsoo berlalu di depan ayahnya tanpa suara dan tanpa menoleh sedikit pun. Ia lalu masuk ke dalam kamar dan menguncinya pintunya rapat-rapat.
“Hhhh… anak itu…”
***

“Mau kuantar pulang?” tawar seorang suster pada Kyungsoo. Barusan Kyungsoo jatuh di lantai rumah sakit setelah beberapa saat yang lalu ia berjalan dengan sedikit terhuyung.
“Tidak, terima kasih. Rumah saya cukup dekat dari sini,” dustanya. Padahal untuk pulang ke rumah, setidaknya Kyungsoo harus 3 kali berganti bus.
“Baiklah. Hati-hati kalau menyeberang jalan.”
Ne.”
Kyungsoo masih memegangi kepalanya. Efek kemoterapi belum hilang sepenuhnya. Kyungsoo akhirnya memutuskan untuk duduk di kursi tunggu yang ada di rumah sakit. Ia memejamkan mata, mencoba meredam rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya.
“Kyungsoo?”
Kyungsoo membuka mata dan tampak terkejut melihat sosok yang sangat dikenalnya. “Mark?”
“Sedang apa kau di sini? Kau sakit?”
Kyungsoo diam, lalu mengangguk. “Kurasa rumah sakit memang tempat untuk orang sakit.”
“Kau benar sekali, Kyungsoo. Rumah sakit memang tempat orang sakit.” Mark tertawa, namun tawanya terdengar sendu. Kyungsoo menatap teman kuliahnya itu dari atas sampai ke bawah. Mark menggunakan setelan jas berwarna hitam dengan kain putih terikat di lengan kanannya.
“Siapa yang meninggal,Mark?”
“Ayahku. Dia sedang di ruang kremasi.”
Mark duduk di sebelah Kyungsoo. Kepalanya tertunduk lemah.
“Aku tidak sempat mengatakan kalau aku sangat menyayanginya. Aku benar-benar mencintainya.”
“Bukankah kalian sangat akrab? Masa kau tidak pernah mengatakan hal semacam itu?”
“Lihat, kau pun tidak akan memercayainya. Sama halnya denganku, aku juga tidak percaya kalau aku belum pernah mengatakan hal itu. Dan bodohnya, aku baru menyadari saat beliau sudah tiada.”
Mark mengusap air matanya yang jatuh tak berkesudahan. Kyungsoo terdiam, pikiran dan akal sehatnya yang dirasanya masih berfungsi, sedang mencerna apa yang dikatakan oleh Mark.
Dia yang begitu akrab dengan ayahnya saja tidak sempat mengatakan ‘aku cinta ayah, aku sayang ayah’, apalagi aku, yang bahkan tidak pernah berminat untuk membicarakan apapun dengan ayah.
“Kau beruntung, Kyungsoo.”
“Beruntung?”
“Kau masih memiliki orang tua,” Mark tersenyum di sela air matanya, “aku ingin sekali bertukar diri denganmu saat ini lima menit saja untuk mengatakan betapa aku menyayangi ayah dan ibu.”
Kyungsoo menepuk bahu Mark, mencoba meredakan duka mendalam yang ada di dalamhati Mark. Mark benar, Kyungsoo masih memiliki orang tua, sedangkan Mark saat ini berstatus yatim piatu karena ibunya meninggal dunia saat ia berusia 5 tahun.
“Ayahmu pasti akan mendengar kapanpun kau mengatakannya. Tanpa kau mengatakannya pun, ayahmu tahu kalau kau sayang padanya, Mark.”
Benar-benar tolol kau, Kyungsoo. Menasehati orang lain dengan mudahnya, sedangkan dirimu sendiri bagaimana?
Mark menarik nafas dalam-dalam, lalu mengembuskannya, mencoba menahan tangisnya yang bersiap akan keluar lagi. “Memang. Ayahku pasti mendengarnya kapanpun aku mengucapkannya. Tapi rasanya tentu saja berbeda saat kita mengucapkan langsung kalau kita menyayanginya. Rasa senang dan bahagianya akan jauh lebih besar, berkali-kali lipat.”
Kyungsoo terdiam. Setiap kata-kata yang keluar dari mulut Mark seakan-akan mencambuki dirinya.
“Sebesar apapun jasa kita terhadap orang tua, tidak lantas sebanding dengan jasa orang tua terhadap kita. Sayangi, cintai, dan perlakukanlah mereka dengan perlakuan terbaik ketika mereka masih hidup. Saat itulah kita menemukan makna kehidupan yang sesungguhnya.”
Dan cambukan dari kalimat Mark barusan mengoyak kulit kepingan hati Kyungsoo,
***
Leher botol itu kini digenggam Kyungsoo. Tekadnya sudah bulat untuk membuka isi botol itu untuk melihat berapa sisa waktu yang ia miliki untuk bisa membuat ayahnya bahagia. Prinsipnya yang kuat akan waktu-kematian-adalah-misteri-ilahi ia kesampingkan. Baginya, yang terpenting saat ini, adalah mencairnya hubungan Kyungsoo dan sang ayah yang sudah membeku selama 12 tahun.
Plop!
Botol itu terbuka. Kyungsoo mengambil gulungan kertas yang ada di dalam botol itu lalu dibacanya dengan seksama.
“Do Kyungsoo.. Meninggal pada…”
Alis Kyungsoo berkerut saat membaca kata-kata selanjutnya, tapi detik berikutnya Kyungsoo tersenyum puas.
“Jadi… Madam Jihyun sudah memperkirakannya kalau aku akan membukanya saat ini. Tulisa yang ada di kertas ini benar-benar tepat. Seratus persen!”
Kyungsoo melipat kertas yang baru ia baca dan memasukkannya ke dalam saku celana. Ia lalu keluar kamar dan mencari sosok yang sangat ingin ia temui setelah melayat mendiang ayah Mark.
“Ayah.” Sapa Kyungsoo pada ayahnya yang sedang menonton TV. “Ayah sudah makan?”
“Kyungsoo?” Minjoon menoleh pada Kyungsoo, mencoba meyakinkan diri bahwa apa yang didengarnya memang benar-benar keluar dari mulut Kyungsoo. Karena ia tahu betul kalau anaknya tidak pernah berbasa-basi seperti itu.
“Oh.. ayah belum makan. Kau lapar ya? Biar ayah buatkan – “
“Tidak, Yah. Kali ini aku yang memasak untuk ayah.” Ucap Kyungsoo sembari tersenyum.
Hati Minjoon mencelos melihat senyum Kyungsoo. Sudah lama sekali anaknya itu tak tersenyum padanya. Tapi di sisi lain, Minjoon merasa ada yang tidak beres dengan Kyungsoo.
“Kyungsoo.”
“Ya?”
“Bisa jelaskan pada ayah apa yang sebenarnya terjadi? Ayah tahu kau tidak pernah seperti ini pada ayah.”
Kyungsoo mengendikkan bahunya,”Entahlah. Aku hanya tersadar kalau sikap mogok bicara agar ayah dan ibu bersatu kembali itu adalah sikap yang tidak benar.”
Kalimat Kyungsoo berhasil membungkamnya. Minjoon meneteskan air mata. Ia terlalu bahagia melihat anaknya yang akhirnya tumbuh dewasa dan menerima perceraiannya.
“Kyungsoo, maafkan ayah. Ayah bukannya tidak ingin merawatmu bersama dengan ibu. Tapi sejak bercerai, ibumu benar-benar memutus kontaknya dengan ayah. Ponselnya tidak aktif dan bahkan mungkin ia mengganti namanya di Amerika sana.”
Kyungsoo menggenggam tangan ayahnya. Rasa hangat spontan menjalar ke seluruh tubuhnya, bahkan sampai ke dalam hatinya.
“Aku menyayangi ayah. Aku juga menyayangi ibu. Karena itulah, aku tidak ingin kalian berpisah. Tapi sebenarnya, kalian berdua tetap bersatu, sekuat apapun kalian ingin berpisah.”
“Maksudmu?”
“Akulah yang membuat kalian tetap bersatu.Forever one. Kalian berdua bersatu, melebur dan menjadi aku, Do Kyungsoo. Tanpa kalian berdua, aku tidak akan pernah ada.”
Minjoon tidak dapat menahan diri lagi. Ia langsung memeluk erat Kyungsoo yang dibalas Kyungsoo tak kalah eratnya.
“Ayah.”
“Hmmm?”
“Aku sayang ayah.”
Tangis Minjoon semakin ingin meledak, tapi mati-matian ditahannya. Ia terus memeluk Kyungsoo. Firasat yang ia rasakan tadi siang sepertinya benar. Pigura fotonya bersama Kyungsoo mendadak jatuh dan pecah tanpa ada yang menyentuhnya.
“Ayah juga sayang padamu, Kyungsoo.”
“Kalau suatu saat ayah bertemu dengan ibu, tolong sampaikan kalau aku juga menyayanginya, sama seperti aku menyayangi ayah.”
“Iya, Nak.”
“Karena kalian bersatu di dalam diriku. Forever One.”
***
1 bulan kemudian
Minjoon melihat ke sekelilingnya. Ada banyak buku yang ditata rapi di dalam sebuah rak, ratusan DVD film kartun yang tersusun berdasarkan abjad di dalam lemari, dan meja komputer yang sangat bersih tanpa noda.
“Anak itu merawat kamarnya dengan baik.”
Minjoon duduk di atas tempat tidur Kyungsoo. Mendiang anaknya itu kini sudah tenang di alam sana. Tepat di akhir malam Kyungsoo berpelukan dengan ayahnya.
DUK!
Minjoon melongok ke bawah tempat tidur Kyungsoo. Ia merasa telah menendang sesuatu.
Sebuah botol kaca.
Minjoon mengambil botol itu. Ia mengamatinya selama beberapa saat lalu mengambil gulungan kertas yang ada di dalamnya dan membacanya dengan hati-hati.

Do Kyungsoo
Kapan akan meninggal : Bila sudah tiba waktunya
Bagaimana akan meninggal : Dalam keadaan tidak bernafas

Salam,
Madam Jihyun

== END==

Tidak ada komentar:

Posting Komentar