Goose’s Dream
Mark Tuan – Jung Dahye (oc) | PG 15 | Romance
Malam ini tidak seperti malam – malam sebelumnya, langit terlihat begitu cerah dan terang karena disinari cahaya rembulan yang kuning keputihan itu. Aku memang suka sekali lari malam hari atau hanya sekedar jalan-jalan santai di malam hari, bagi sebagian orang aktivitas ini mungkin dipandang sebelah mata, tetapi bagiku, ini adalah cara agar tubuhku lebih sehat.
Karena tuntutan pekerjaan, aku selalu pulang malam. Walau melelahkan, tetapi aku gembira karena dengan bekerja aku dapat menghasilkan uang yang bisa aku pakai untuk berbelanja kebutuhan hidupku. Setelah sekitar tiga puluh menit aku berlari, aku menghentikan langkahku disebuah kebun di pinggiran kota. Kebun yang tidak terlalu luas tetapi tidak juga kecil, kebun itu sebenarnya sebuah halaman rumah orang yang terbilang cukup mapan hidupnya.
Disaat aku sedang menikmati pemandang kebun, tiba-tiba terdapat suara dering ponselku. Terpampang dengan jelas di layar terdapat sebuah pesan singkat dari Mark. Ya, dia pria yang saat ini tengah dekat denganku, entah sejak kapan kita saling kenal atau bahkan saling akrab seperti sekarang ini, yang jelas semua berjalan begitu saja seperti sudah ada alur cerita yang berhubungan dengan kami.
“Kapan kau pulang? Aku sendirian dirumah.”
Isi pesan yang sedikit membuatku geli sekaligus kesal. Kami memang tinggal satu rumah, tetapi selama tinggal bersamanya, aku pastikan tidak terjadi hal-hal yang membahayakan. Mark Tuan adalah tipikal pria humoris yang menawan, entah mengapa disetiap gerak-gerik tubuhnya dia selalu terlihat menawan bagiku entahlah, mungkin aku memang sudah di santet oleh karismanya yang kuat.
Aku mengontrak rumah di atap, jadi butuh tambahan tenaga untuk bisa sampai dirumah. Bukan rumah yang mewah ataupun minimalis, tetapi rumah yang biasa-biasa saja. Sesampainya di atap, aku melihat Mark sedang duduk termangu di meja depan rumah sambil menikmati secangkir teh.
“Kau sudah pulang Dahye, duduklah.”
Aku duduk di depan Mark lantas melepas sampul tali sepatu yang aku kenakan.
“Kau mau teh Dahye?”
“Tidak terima kasih,”
“Bagaimana dengan air putih?”
“Tidak terima kasih,”
Bukan apa-apa aku menolak semua tawaran Mark, hanya saja aku terlalu letih untuk minum. Tanpa diduga-duga, Mark jongkok dihadapanku sembari mengambil alih tanganku yang tengah sibuk melepas sampul tali sepatu.
“Minumlah, isi kembali cairan didalam tubuhmu,” Kali ini dia berkata seperti memerintah sekaligus peringatan bagiku.
Malam semakin larut, aku kini berbaring diranjang sedangkan Mark di sofa. Sebenarnya Mark memiliki rumah yang luas dan keluarga yang masih utuh, tetapi entah mengapa dia ingin tinggal denganku yang hidup serba ngepas ini. Awal aku bertemu dengan Mark adalah saat kita berpapasan dijalan saat sedang lari malam hari, saat itu aku yang tengah depresi itu aku berlari secara membabi buta tanpa memikirkan efek kesehatanku sendiri. Hingga pada akhirnya aku menabrak Mark yang ada didepanku. Sejak saat itulah, aku dan Mark sering bertemu dan sampai dengan dia tinggal serumah denganku.
Aku perlahan-lahan mengendap keluar kamar untuk melihat keadaan Mark. Mungkin memang sejak lahir atau dikehidupan sebelumnya dia selalu berbuat baik sehingga dia dianugerahi wajah yang tampan dan rupawan. Seksama aku melihat wajah Mark serasa damai saat itu juga, apakah memang aku ini tengah merasakan jatuh cinta?. Tanpa sadar tanganku meraih rambut Mark dan mengelusnya perlahan, bibirku terus mengembang tersenyum acap kali tanganku menyentuh helaian-helaian rambut Mark.
Tiba-tiba tanpa aku duga, tangan Mark menindih tangaku yang berada dikepalanya. Sontak untuk sesaat aku mematung tak bergerak.
“Tetaplah seperti ini, Dahye, sampai aku tertidur pulas.”
Dia berucap tanpa membuka matanya. Tanpa membalas dengan kata-kata aku, pun melanjutkannya.
Matahari telah beranjak naik, akupun bangun dan meregangkan seluruh tubuhku. Aneh, perasaanku aku tidur tidak di kamar tetapi saat aku bangun, aku berada di dalam kamarku. Akupun beranjak dari ranjang untuk keluar membasuh muka. Saat aku membuka pintu kamar, aku telah disapa oleh sajian sarapan diatas meja dan senyuman Mark.
“Kau sudah bangun, mandilah lalu sarapan, aku akan menunggumu.”
Seusai mandri aku langsung menuju meja makan dan duduk berhadapan dengan Mark,
“kau yang membuatnya?,” dia membalas dengan anggukan saja.
“Makanlah yang banyak, kau butuh energi yang cukup untuk beraktivitas.”
Aku bekerja sebagai pelayan toko busana tidak jauh dari tempat tinggalku, pekerjaan yang melelahkan karena harus berdiri lebih dari delapan jam. Tidak seperti biasanya toko ini sepi pengunjung, hanya beberapa saja yang terlihat sedang memilah-milih baju. Cukup lega jika toko lengang seperti ini, karena aku tidak perlu bolak-balik kegudang untuk mengambil stok barang.
“Jung Dahye, kau dipanggil manajer,” seorang rekan kerja memanggilku. Cukup deg-degan jika dipanggil oleh manajer.
Sesampainya diruang manajer, aku melihat orang yang tidak begitu lagi asing bagiku, Mark!, ya, Mark ada diruang manajer, pada saat itu aku terkejut dan penasaran sedang apa dia disini.
“Nona Dahye, ini Mark Tuan manajer cabang baru yang akan menggantikanku.”
“Kenapa manajer mengatakannya kepadaku? Bukankah aku seorang pelayan toko yang tidak ada urusannya dengan pergantian manajer.”
“Tuan Mark ingin menjadikanmu sebagai sekretarisnya,”
“Maaf, tapi bukankah banyak orang yang lebih kompeten untuk mengisi jabatan sebagai sekretaris manajer?”
“Ini permintaan beliau langsung, apa kau menolaknya?”
“Ma,, maaf saya permisi sebentar.”
Ini sungguh kejutan luar biasa, aku benar-benar ditipu oleh Mark selama ini. Aku kira dia datang dari keluarga mapan yang mana orang tuanya bekerja di kantor department store kenamaan, tetapi ternyata dia itu pewaris dari pemilikdepartment store.
“Dahye, kau kenapa?”
“Jangan mendekat! Kau ini sebenarnya siapa? Kenapa kau ada dihidupku? Apa keluargaku berhutang terhadapmu? Atau mengancam dirimu?”
“Dahye,”
“Cukup, aku sekarang baru sadar, bahwa hanya aku seorang yang tidak tahu siapa kau sebenarnya. Mulai sekarang kau pergi dari rumahku.”
“Dahye!,”
Aku langsung pergi dari toko tersebut, selama hampir sepuluh bulan aku kenal dengannya dan berbagi rumah bersamanya aku tidak pernah tahu silsilah keluarganya, dia hanya bilang bahwa dia datang dari keluarga yang cukup mampu.
Malam telah datang, dan aku masih tidak bisa menjernihkan pikiranku. Terdengar seseorang menekan kata kunci digital pintu rumah.
“Aku pulang,”
Mark! Dia Mark, mau apa dia sebenarnya. Bergegas aku menuju pintu untuk menghadang Mark yang telah menipuku.
“Mau apa kau kemari?”
“Bukankah ini rumahku juga?”
“Sejak kapan kau mengakuisisi rumah ini menjadi rumahmu? Kau memang benar-benar keterlaluan.”
Sejenak tidak ada tanggapan dari Mark, sekilas aku melihat wajahnya seperti sebuah tatapan kosong. Sedikit bingung sekaligus marah aku dengan tingkahnya, apa maksud dari tatapannya?, apa maksudnya menutupi identitas aslinya?, kenapa dia datang dikehidupanku?. Pertanyaan itu semua terus memenuhi pikiranku, merasa marah karena telah tertipu dari tampang rupawannya tetapi merasa kasihan dan bingung dengan tatapannya kepadaku.
“Apa kau marah?,” Mark tiba-tiba melontarkan pertanyaan ketika aku sedikit melamun sesaat.
“Ya! Memang aku marah dan sekarang menjadi benci! Kenapa kau menipuku? Apa maksudmu masuk ke kehidupanku? Apa salah dan dosaku kepadamu atau bahkan ke keluargamu?,”
“Pernahkah sebelumnya kau bertanya tentangku lebih lanjut?,”
Aku terperanjat kaget dengan pertanyaannya, jika diingat memang sepertinya aku jarang sekali bertanya tentang dirinya, yang aku lakukan hanyalah berkeluh kesah kepadanya tanpa melihat situasinya.
“Bisakah kita keluar sebentar untuk meluruskan ini semua?.”
Karena merasa bersalah sekaligus ingin menyelesaikan permasalahan ini juga, akhirnya aku menyetujuinya. Dia ternyata mengajakku ketempat yang sering aku datangi, ya, itu kebun yang terletak dipinggiran kota. Tempat itu juga sekaligus tempat untuk pertama kalinya aku bertemu dengannya.
“Kau ingat saat pertama kali kita bertemu? Itu adalah saat dimana aku benar-benar frustrasi dengan keluargaku sendiri, kedua kakakku saling memperebutkan kursi pimpinanDepartment strore, begitu juga dengan kedua keluargaku, mereka sibuk keluar negeri untuk menjalin kerja sama dengan banyak perusahaan serupa disana.
Pernahkah mereka memperhatikanku?, sama sekali tidak. Aku bukan orang yang ingin di perhatikan, tatapi sesekali rangkullah aku sebagaimana kebanyakan keluarga yang saling merangkul masing-masing anggota keluarganya. Ketika kamu melihatku tengah merenung, aku pikir kau akan menertawaiku sebagai laki-laki pengecut, tetapi tidak. Kau begitu hangat kepadaku, dan untuk pertama kalinya aku merasakan kehangatan sebuah rangkulan yang begitu menenangkan. Itu sebabnya aku ingin tinggal denganmu, aku merasakan bahwa aku ini ada di dunia ini.”
Aku kini paham, kenapa Mark begitu merawatku dengan baik walau terkadang aku bersikap tidak sopan kepadanya. Dari ceritanya tersebut aku, pun, sekarang paham dengan permasalahan pada diri Mark.
“Maafkan aku Mark, aku tidak pernah memikirkan persaanmu,” aku memegang kedua pipinya dengan lembut.
“Bolehkah aku bersandar sejenak dipundakmu?,” dia bertanya dengan tulus dan aku menganggukkan kepalaku. Laki-laki, pun memmiliki perasaan, walau diatas perasaan itu terdapat ego yang tinggi pada diri setiap laki-laki.
“Nyaman, sungguh nyaman Dahye,” aku mengelus lembut kepala Mark, hatiku sedikit terharu dengan perasaan Mark.
Laki-laki juga memiliki tanggung jawab yang besar, ketika dia menikahi seorang wanita, maka dia pula harus menanggung segala perbuatan wanitanya. Aku jadi ingat nasihat ayah kepadaku, bahwa perlakukanlah lelakimu sebagaimana kau memperlakukan dirimu, rawatlah, jagalah dia. Karena diatas keegoisannya dia, laki-laki, pun juga memikul beban perbuatan keluarganya.
End.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar